Pemerintah Naikkan Harga BBM dengan Tuding Rakyat Konsumtif, Adilkah?

JAKARTA – Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dari pemerintahan Presiden Jokowi terus mendapat kritikan dari kalangan masyarakat. Namun loyalis pemerintah terus melakukan upaya-upaya rasionalisasi kepada masyarakat, termasuk dengan menyalahkan pemerintahan sebelumnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Terkait hal tersebut, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya jangan dipolitisir sedemikian rupa, sehingga yang dihitung sekadar persoalan popular atau tidak popular, melainkan lebih kepada hajat hidup rakyat Indonesia.

“Anggaran sebesar Rp 246,5  triliun untuk subsidi BBM adalah hak rakyat,” ungkapnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (16/11/2014).

Dikatakan Ipang, sapaan akrabnya, pemerintah  atau para loyalis pemerintah selalu membangun opini bahwa rakyat terlalu komsumtif, sehingga lebih baik subsidi BBM dimanfaatkan atau dialihkan untuk sesuatu yang lebih produktif seperti pembuatan infrastruktur agar bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Padahal, kata dia, problem BBM  karena mafia migas dan pemborosan anggaran pemerintahan.

“Rumus kenaikan BBM yang terkena dampaknya selalu kesejahteraan rakyat,” tukasnya.

Ia berharap, Jokowi yang selama ini dicitrakan presiden yang lahir dari rakyat, benar-benar mengerti persoalan rakyat tersebut dan menunda keniakan harga BBM.

Terpisah, beberapa Poitisi dari partai politik (Parpol) pendukung pemerintah,  diantaranya Wasekjen DPP Partai Hanura, Nasrun Marpaung menilai tingginya konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat disebabkan karena rendahnya jumlah alat trasportasi publik yang layak dengan harga terjangkau. Kondisi itu semakin diperparah dengan munculnya kebijakan mobil murah di era kepemimpinan Presiden SBY.

Kebijakan tersebut, kata dia, selain berakibat pada pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang tidak terkendali juga mendorong membengkaknya konsumsi BBM bersubsidi.

“Bahkan, sampai melampaui kuota yang telah diatur undang-undang,” katanya kepada wartawan di Jakarta.

Di sisi lain Marpaung menilai di era SBY besaran subsidi BBM dihitung dengan menggunakan harga pasar minyak dunia.

“Selain tidak menunjukkan besaran yang nyata, juga bertentangan dengan UUD 1945,” tukasnya.

Berdasarkan hal tersebut, Ketua DPP Gerakan Muda Hati Nurani Rakyat (Hanura) ini menilai SBY telah gagal dalam melakukan tata kelola niaga nasional yang baik, sehingga imbasnya, muncul wacana kenaikan harga BBM bersubsidi di pemerintahan Jokowi. (ded/kontributor)

 

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com