Menyoal Jaksa Agung dari Politikus

Oleh: Baharuddin Kamba*

TAKJUB, setelah cukup lama ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih dan melantik jaksa agung baru untuk periode selanjutnya. Sang Presiden menjatuhkan pilihan hatinya kepada politikus partai NasDem, HM. Prasetyo yang juga pernah menjabat sebagai Jaksa Muda Pidana Umum (JAMPIDUM)  Mahkamah Agung itu untuk menduduki jabatan sebagai jaksa agung.

Lagi dan lagi sang Presiden memberikan ruang yang cukup untuk menduduki jabatan strategis khususnya bagi penegakan hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemberantasan korupsi dari kalangan politikus. Sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa, Menteri Hukum dan HAM pun berasal dari politikus yakni PDI-P. 

Harus diakui suka atau tidak suka pilihan Presiden Jokowi menempatkan politikus di kabinet kerjanya merupakan hak prerogatifnya sebagai presiden untuk memberikan kesempatan bagi siapapun yang dianggapnya layak untuk bersama-sama bekerja di kabinet kerjanya lima tahun mendatang. Meskipun di tengah masyarakat terjadi prokontra atas keputusan yang diambil oleh Presiden Jokowi. Itulah Jokowi yang membuat sebagian orang mungkin takjub atas keberaniannya dalam mengambil sebuah keputusan yang penuh resiko, kontroversial, dan penuh sorotan.

Salah satu agenda besar reformasi 1998 adalah penuntasan kasus-kasus korupsi dan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM. Namun, pasca reformasi pun agenda tersebut terkesan hanya jalan di tempat bahkan lebih parah kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM kian marak terjadi di negeri ini. Baik kasus-kasus korupsi yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah tak kalah maraknya begitu pun kasus pelanggan HAM kian menjamur seperti di musim penghujan.

Nampaknya, penegakan hukum, penuntasan kasus-kasus korupsi dan HAM bagaikan menegakkan benang yang basah karena bisa jadi oknum aparat penegak hukumnya yang masih belum agung dalam menangani suatu kasus karena masih tersandera oleh konflik kepentingan dan diperparah oleh praktik mafia peradilan.

Atas dipilihnya jaksa agung dari politikus, sehingga menjadi dirasakan tidak agung, meskipun sekali lagi itu merupakan hak prerogatif dari sang presiden, minimal ada tiga catatan kritis dari penulis.

Pertama, ada kesan bahwa Presiden Jokowi tersandera oleh kepentingan politik dalam menentukan jaksa agung yang berasal dari politikus. Besar harapan publik bahwa sosok jaksa agung adalah yang memiliki integritas, pemberani, profesional dan proporsonal dalam menangani berbagai kasus hukum khususnya kasus yang berkelas kakap.

Publik berharap sosok jaksa agung seperti Alm. Baharuddin Lopa. Namun, harapan itu hanya menunggu kerja minimal dapat dilihat nanti dalam waktu 100 hari pertama dari jaksa agung selera politisi itu untuk melakukan gebrakan-gebrakannya dalam menuntaskan berbagai kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM, baik dipusat maupun didaerah selain melakukan upaya-upaya reformasi di internal kejaksaan.

Kekhawatirannya dan menjadi problem yang harus dipikul berat oleh jaksa agung dari politikus adalah ketika dia harus menangani kasus yang menjerat pimpinan partai politik di mana sang Jaksa Agung pernah dibesarkan. Apakah dia dapat murni independen dalam menuntaskan kasus yang menjerat pimpinan partai di mana dia pernah berkibar? Sang jaksa agung boleh jadi akan terkungkung dan tidak bisa lepas dari intervensi politik.

Kedua, aneh tapi nyata karena Presiden Jokowi tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menentukan pilihannya untuk sosok Jaksa Agung. Hal ini sangat berbeda ketika presiden akan menentukan pilihannya pada posisi atau jabatan para menteri-menterinya. Presiden Jokowi nampak inkonsistensi dalam memilih jaksa agung.

Patut disayangkan karena salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan adanya perubahan pada sektor penegakan hukum adalah memilih jaksa agung yang profesional, pemberani dan berintegritas. Dan sosok jaksa agung semacam itu hanya dapat dilahirkan dari sebuah proses yang mengedepankan prinsip-prinsip transparansi bukan transaksi, obyektifitas bukan subyektifitas, dan selera rakyat bukan selera partai politik.

Munculnya praktik suap-menyuap, jual-beli pasal dan mafia peradilan di lingkungan kejaksaan atas berbagai kasus yang melibatkan oknum-oknum dilingkungan kejaksaan membuat publik pupus harapan dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Lambannya penuntasan kasus korupsi yang melibatkan politikus yang ditangani oleh kejaksaan juga mendapat sorotan dan cibiran dari publik term asuk tidak ditahannya tersangka kasus korupsi meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka sudah cukup lama.

Ketiga, jaksa agung dengan selera partai politik akan dapat menimbulkan pesimisme dalam semangat antikorupsi. Dengan Presiden Jokowi memilih jaksa agung dari partai politik, maka ini merupakan uji nyali bagi presiden soal komitmennya dalam hal penegakan hukum, penuntasan kasus pelanggaran HAM dan penuntasan kasus korupsi meskipun yang terlibat adalah sesama kader di PDI-P atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Semoga Presiden Jokowi tidak terjebak dan tersandera oleh kepentingan politik dalam memilih jaksa agung HM. Prasetyo dan dapat bekerja sebagai jaksa agung yang betul-betul agung bukan jaksa yang tak agung karena selera partai politik. (*)

*Penulis adalah aktivis Jogja Corruption Watch (JCW) dan Wartawan pada jogjakartanews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com