Edutek  

Mendikbud: Video Game Bisa Picu Kekerasan Pada Anak

JAKARTA– Maraknya berita kekerasan oleh dan terhadap anak akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan.

“Ada berbagai kemungkinan faktor penyebab kecenderungan kekerasan oleh anak yang perlu diteliti besar pengaruhnya. Kita perlu melihat secara utuh faktor-faktor yang ada di sekolah, keluarga dan masyarakat,” ujar Anies Baswedan, di Jakarta, Minggu, (01/03/ 2015).

Ia memberi contoh tentang kerentanan anak dalam masa perkembangan dalam membedakan yang maya dan nyata, serta sinetron dan video game bagi dewasa sebagai contoh kemungkinan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan sebagian anak-anak.

Anies juga menjelaskan video game yang tepat dapat memberikan dampak positif pada anak, bahkan dapat dirancang khusus sebagai media pembelajaran yang efektif bagi perkembangan kognitif, motorik maupun sosial-emosional. Dengan program pendidikan yang baik, anak juga dapat dilatih dari sekadar pengkonsumsi video game menjadi mampu mengembangkan dan berkreasi secara digital.

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa tidak semua video game memiliki karakteristik yang cocok untuk dimainkan oleh anak semua umur.  Anies kemudian mengingatkan bahwa atas alasan-alasan inilah media yang dikonsumsi anak, termasuk video game, memiliki sistem rating yang memberi peringatan pembelinya tentang kecocokan konten untuk dimainkan anak usia tertentu.

“Di Amerika Serikat misalnya, terdapat sistem Entertainment Software Rating Board (ESRB),” kata menteri Anies.

Dijelaskan Menteri Anies, dalam sistem ESRB, terdapat enam kategori rating, yaitu: Early Childhood (cocok untuk anak usia dini), Everyone (untuk semua umur), Everyone 10+ (untuk usia 10 tahun ke atas), Teen (untuk usia 13 tahun ke atas), Mature (untuk usia 17 tahun ke atas) dan Adults Only (untuk dewasa), serta satu kategori antara Rating Pending. Deskripsi konten dalam ESRB pun beraneka, mulai dari Blood and Gore, Intense Violence, Nudity, Sexual Content, sampai Use of Drugs.

“Di kotak video game biasanya terdapat pengkategorian seperti ini, semisal “Mature 17+: Blood and Gore, Sexual Theme, Strong Language,” jelasnya. 

Lebih kanjut Mendikbud menjelaskan bahwa permasalahan video game di Indonesia adalah peredarannya yang masif dan begitu mudah diakses oleh anak dan remaja yang memainkannya tanpa memperhatikan kategori rating. Klasifikasi ini menjadi sangat penting karena prinsipnya berbagai pihak di sekeliling anak wajib bertanggung jawab terhadap anak yang termasuk kelompok rentan terhadap berbagai pengaruh teknologi. Sebagian orangtua pun amat awam terhadap model/rating video game dan tidak menyadari bahwa tidak semua video game cocok untuk anak semua umur, sehingga terlewat mengawasi anak-anaknya dalam memilih dan bermain video game.

“Saya berharap orangtua menyadari tentang pengkategorian video game ini, serta membimbing dan terlibat bersama anak-anaknya memilih video game yang cocok bagi mereka,” kata Anies menambahkan.

Keterlibatan orang tua tersebt, kata Anies, agar pada akhirnya anak memiliki media literacy atau kemampuan untuk melek media, memahami alat dan konten yang mereka gunakan, serta mampu memilih yang tepat dan berpengaruh positif.

“Penggunaan video game yang baik mampu menghibur tanpa berisiko memberikan dampak buruk, dimainkan dalam porsi yang pas dan seimbang dengan berbagai alternatif kegiatan lain. Orangtua juga perlu mahir dalam memanfaatkan video game sebagai salah satu media pembelajaran sesuai minat dan kebutuhan anak,” imbuhnya.

Menteri Anies juga mendorong para pecinta game yang telah memahami sistem rating dalam game untuk membantu menyebarkannya kepada para orangtua dan guru. (pr)

Redaktur: Rizal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com