Agama dan Politik Indonesia

Oleh Mahmud Amir*

KEKUASAAN cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut pula korupsinya. Orang-orang besar hampir selalu orang jahat “Lord Acton”

Seperti apa yang disampaikan oleh Lord Acton saya pun berpendapat demikian dengan melihat berbagai macam kisruh yang terjadi akibat perebutan dari kekuasaan. Terdapat kecenderungan bahwa realitas politik dalam penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan lebih berorientasi pada kekuasaan atau politik untuk kekuasaan (politics of power) daripada memerankan politik nilai (politics of values) dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur.

Realitas politics of power juga, cenderung korup dan tidak adil dalam distribusi dan penggunaan kekayaan (uang negara), padahal di sana terdapat kekayaan yang menjadi hak anak yatim dan fakir miskin. Mereka melakukan kemungkaran politik secara kolektif dengan memakan harta hak anak yatim dan fakir miskin melalui pengurangan takaran raskin (beras untuk masyarakat miskin) menggunakan dana APBD dalam setiap kampanyenya, misalnya dan itu telah menjadi hal yang biasa dalam kontestasi politik di tanah air ditambah lagi dengan bentuk-bentuk penyimpangan kebijakan yang menjadikan masyrakat low class dengan berbagai profesinya makin menderita. Politik oposisi inilah yang selalu melahirkan ketegangan sosial antarumat beragama dan berbangsa.     

Orientasi politics of power yang tampaknya menjadi titik tolak pandang seluruh kontestan politik dalam pemilihan umum langsung tahun 2014, sehingga pemilu cenderung bukan mendatangkan rahmat, persaudaraan, kesejahteraan dan kedamaian, melainkan justru, melahirkan perpecahan dan konflik. Bukan hanya pada pemilu saja orientasi politics of power ini bekerja namun juga pada organisasi-organisasi kepemudaan seperti halnya yang baru saja terjadi di forum kongres KNPI di Jayapura dimana peserta saling sikut karena kepentingan kelompok atau golongan. Apakah realitas politik seperti yang kita inginkan ? tentu bukan saya saja yang tidak menginginkan hal seperti ini. Tantangan terberat masyarakat saat ini adalah menerjemahkan isi epistemis mengenai keyakinan-keyakinan religius yang spesifik ke dalam perbincangan rasional yang penuh saling pengertian. Kita yang sudah selalu hidup dalam masyarakat majemuk tidak akan bisa kecuali bekerja keras menjawab tantangan itu.

Thomas F. Odea ketika menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber kerawanan atau dalam istilahnya breaking points (titik kritis) adalah karena manusia memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia tersebut terakumulasi dan memuncak, maka masyarakat manusia cenderung akan mengalami apa yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, yakni kebingungan, penderitaan, serta ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada penciptaan dunia masyarakat yang chaos

Anselm Von Peugrbach menyatakan bahwa agama dalam bentuk apa pun ia muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Peranan agama sangat menentukan dalam setiap bidang kehidupan sebab manusia tanpa agama tidak akan dapat hidup secara sempurna. Menurut Berger, legitimasi religius atau agama akan sangat efektif (dalam proses transformasi sosial-kultural), karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas purna (transenden).

Didalam keberagamaan terdapat tiga kaidah asasi agama yang pertama adalah kaidah ketuhanan yang mana kekuasaan bukanlah sebagai tujuan segalanya, melainkan hanya salah satu perwujudan pengabdian. Tentu saja hal ini tidak menempatkan kekuasaan sebagai tujuan hidup apalagi menjadikannya sebagai tahta yang terus harus diturunkan kepada anak cucunya seperti realitas ‘dinasti politik’ di Indonesia. Kekuasaan hanyalah suatu usaha untuk dapat menaikkan nilai rohani atau spiritualitas diri sehingga dapat mengelola alam/masyarakat sesuai kehendak Tuhan

Kedua adalah kaidah kemanusiaan, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki komitmen) untuk melakukan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang dan tertindas), serta untuk penegakan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Ketiga, kaidah peradaban, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki komitmen) untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan berperadaban. Bukan sebaliknya, penyelenggaraan kekuasaan justru menciptakan masyarakat yang tidak beradab, di mana uang menjadi orientasi kekuasaan, kekerasan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai, manusia lawan manusia, serta kecurangan dan tipu daya menjadi seni kehidupan.

Dalam penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia sebaiknya tetap berpegang pada tiga kaidah tersebut sehingga politics value dapat diciptakan dalam setiap dimensi kekuasaan Republik ini. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan oleh setiap unsur masyarakat terhadap pelaksanaan kontestasi politik dalam bentuk apapun (Pemilu, Kongres, Munas, dll) agar memperoleh keamanan, stabilitas, rasa keadilan, kepastian hukum, kedamaian, dan kesejahteraan.[]

*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UNJ dan aktifis PB HMI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com