Oleh : Agus Miftakhus soleh, ST*
Definisi Komunikasi Sebagai Proses Sosial, Budaya dan Politik
Komunikasi merupakan proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Everett M. Rogers. Manusia merupakan makhluk individu, ia akan berusaha memenuhi kebutuhan individunya terlebih dahulu baru kemudian kebutuhan yang lain (kebutuhan sosialnya). Menurut Abraham Maslow, dalam teori kebutuhan, manusia memiliki lima macam kebutuhan yang harus dipenuhinya, (1) kebutuhan fisik biologis, (2) kebutuhan keamanan dan jaminan hidup, yang mencakup perlindungan dan ketetapan (3) kebutuhan diri dan penghargaan, (4) kebutuhan akan pemenuhan dan pencapaian diri, (5) kebutuhan sosial, dan bergabung dengan kelompok.
Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial. Komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam setiap elemen masyarakat. Karena mampu merekatkan kembali sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Namun demikian, komunikasi juga tidak bisa lepas dari konteks sosialnya, karena ia akan diwarnai oleh sikap, perilaku, norma, pranata masyarakatnya. Jadi keduanya saling mempengaruhi dan saling melengkapi, seperti halnya hubungan antara manusia dengan masyarakat serta system pemerintahannya.
Terdapat asumsi dasar pula dalam hal ini, yaitu komunikasi sebagai suatu proses budaya. Maksudnya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tidak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Dalam suatu proses komunikasi antar budaya, bahasa merupakan salah satu unsur yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, komunikasi juga disebut sebagai proses budaya. Karena Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya sesuai norma kepatutan dan kepantasan.
‘Menyoal gaya komunikasi ndalang ala bupati Tegal sebagai uswah’
Seorang yang telah mendapat amanat rakyat untuk menjadi seorang pemimpin disamping ia harus menjaga amanat rakyat, dia pun harus mampu menjaga tutur katanya. Karena perkataan ataupun sikap dari seorang pemimpin merupakan uswah (teladan) bagi rakyatnya. Sehingga tutur kata yang keluar dari lisan seorang pemimpin haruslah sesuatu yang bijak yang dapat dipahami untuk diteladani oleh masyarakat.
Namun agaknya sedikit berbeda dengan gaya komunikasi yang dilakukan oleh bupati tegal Enthus Susmono. Meski ia sudah menjadi bupati Tegal tetapi gaya komunikasi ndalangnya masih saja kerap dituangkan dalam lingkungan birokrasi. Padahal jelas, cara komunikasi seperti ini tidak efektif. Karena sebagai pegawai negri sipil selingkup kabupaten Tegal tidak sepenuhnya menyukai gaya komunikasi ndalang yang terkesan ada ketidak pantasan dalam penggunaannya dilingkungan kedinasan.
Padahal semestinya, hal ini disadari oleh bupati Tegal Enthus Susmono. Sebagai seorang budayawan tentu dirinya lebih peka terhadap respon social dilingkungan kerjanya. Bukan malah gaya komunikasi ndalangnya mendominasi dirinya sebagai seorang bupati.
“Mahasiswa yang baik itu menyampaikan aspirasi dengan cara yang baik. Jangan berkoar dijalanan. Kalau mahasiswa menyampaikan aspirasi dengan cara angon, maka akan kami lawan dengan cara angon juga” enthus susmono. (Radar Tegal 22-9-2014).
Tanpa disadari, pernyataan tersebut tentunya mendapat reaksi dari sejumlah elemen gerakan mahasiswa. Karena dirinya pun seringkali memberikan support baik moral maupun materiil saat elemen pergerakan ini menyatakan aspirasinya dengan cara berdemonstrasi. Tentunya ini menjadi aneh, ketika orang yang pernah besar ‘dilapangan’ kemudian saat ia menjadi pemimpin ia melupakan sejarahnya, tapi masih membawa kepribadiannya yang melekat erat.
Ini menjadi komunikasi politik yang tidak efektif. Mestinya penggunaan bahasa politik yang lebih halus untuk merangkul semua elemen yang harus dilakukannya. Bukan malah terkesan menantang antara pemerintahan dan organisasi mahasiswa sebagai gerakan ekstra parlementer.
Dengan demikian, komunikasi ibarat aliran darah yang mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik. Dan hasil pemrosesan itu dilahirkan kembali oleh komunitas aksi politik yang selanjutnya menjadi feedback sistem politik.
Masih diwujudkannya tradisi politik yang mementingkan keseimbangan, harmoni, dan keserasian. Namun dalam kenyataannya justru tradisi tersebut dijadikan alat legitimasi politik penguasa atas nama stabilitas.
Sebagai proses politik, komunikasi menjadi alat yang mampu mengalirkan pesan politik (tuntutan dan dukungan) ke pusat kekuasaan untuk diproses. Proses tersebut kemudian dikeluarkan kembali dan selanjutnya menjadi umpan balik (feedback). Ini artinya komunikasi sebagai proses politik merupakan aktivitas tanpa henti.
*Penulis adalah Direktur Kelembagaan Bahari Institute Tegal