JAKARTA – Karut marut pengelolaan migas nasional, salah satunya disebabkan oleh keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas.
“Undang-undang migas saat ini, beberapa pasalnya di anulir MK karena tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenanya harus direvisi,” demikian ditegaskan Ir. Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra dalam Diskusi Publik Poksi VII Fraksi Gerindra DPR RI tentang “Revisi UU Migas” di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Kamis (09/04/2014).
Dalam Pers rilis yang diterima jogjakartanews.com, Harry menambahkan, negara memerlukan satu unit kerja yang mampu mewakili negara dalam mengelola sumber daya alam dengan baik untuk rakyatnya.
“Kita butuh, apakah itu Pertamina, apakah itu SKK Migas ataukah BP Migas, kita jangan terkecoh dengan wacana pembubaran SKK Migas ataupun BPH Migas”, ujarnya.
Harry mengingatkan agar tata kelola migas nasional harus didasarkan pada semangat pasal 33 UUD 1945.
Sementara itu, Supratman Andi Agtas, anggota Komisi VII DPR RI yang juga sebagai nara sumber diskusi tersebut mengingatkan agar cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti migas harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Saya khawatir, jika migas saja sudah dikuasai asing, lalu sumber daya alam apa lagi milik Indonesia yang bisa kita kuasai?”, ujar politisi Gerindra tersebut.
Dalam konteks pembahasan revisi UU Migas, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM menyambut baik setiap masukan publik untuk penyempurnaan UU Migas.
“Posisi pemerintah menunggu karena RUU Migas adalah inisiatif DPR RI”, ujar Ir. Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Ditjen Migas Kementerian ESDM RI. (pr)
Redaktur: Rizal