JAKARTA – Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) terus mendapat tekanan publik untuk menasionalisasi Minyak Bumi dan Gas serta Tambang Mineral, termasuk PT. Freeport Indonesia (PT FI). Namun, hingga saat ini pemerintah baru berani melakukan gebrakan dengan mewacanakan devistasi atau pengurangan saham PT FI.
Menurut pengamat energi dan minerba, Ferdinand Hutahean, pemerintah tidak mampu untuk menasionalisasi Freeport karena lemah di finansial. Pemerintah, kata dia, tidak punya nyali dan tidak basa tegas karena ketakutan kehilangan investor, ketakutan kekuatan politik global Amerika Serikat dan ketakutan pada diri sendiri dikarenakan adanya dugaan suap yang beredar kepada penguasa selama ini.
“Tapi untuk kondisi sekarang, lebih baik nasionalisasi dilakukan secara alamiah untuk menekan resiko yang justru akan merugikan kita. Ingat apa yang dilakukan oleh Hugo Chaves di Venezuela menjadi sentimen negatif bagi negaranya. Kita ikuti nasionalisasi alamiah saja, habis kontrak ya jangan diperpanjang lagi tapi serahkan pada BUMN kita, tentu dengan catatan negara punya finansial yang kuat untuk menopang,” tukas Ferdinand yang Direktur Energi Watch Indonesia (EWI), kepada jogjakartanews.com, Minggu (18/10/2015).
Diakui Ferdinand, secara teknologi Indonesia pasti mampu untuk kelola Freeport, namun negara yang tidak mampu secara finansial menjadi hambatan. Sesuai KK tahap II, kata Ferdinand, sebetulnya sudah ada kewajiban divestasi saham 51% kepada Nasional. Tapi menurutnya hal itu tidak terpenuhi karena PTFI atau Indonesia sendiri tidak mampu secara finansial, bahkan tawaran divestasi awal sebesar 10% belum bisa dieksekusi pemerintah karena alasan tidak punya uang.
“Tentu pemerintah akan mencari investor baru untuk membiayai tambang tersebut. Nah disini jadi titik krusial yang sangat berbahaya, jika sampai investor asing lainnya yang tidak patuh terhadap negara dan konstitusi masuk, sehingga akan terjadi peleburan global, dan kita akan kalah,” ujarnya.
Jika memang pemerintah tidak punya uang, maka Ferdinand beranggapan masih perlu memperpanjang kontrak kepada FI yang habis pada 2021, namun dengan syarat bahwa PTFI harus menyetujui juga beberapa hal yang menguntungkan negara. Diantaranya, Pembangunan smelter yg selambat2nya dimulai awal 2016, Divestasi saham hingga 51% kepihak nasional, Peningkatan royalti hingga minimal 5% dari setiap hasil tambang, Perobahan kontrak karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan sesuai UU No.4 tentang Minerba, Auditor adalah BPK, Management dari pihak Indonesia minimal 3 orang di jajaran direksi, Perbaikan pengelolaan lingkungan, dan Memperhatikan hak-hal adat masyarakat.
“Jika syarat ini tidak disetujui oleh PT FI maka sebaiknya tidak usah diperpanjang, dan kita tawarkan ke pihak asing lain yang mau kerjasama lebih saling menguntungkan,” imbuhnya.
Ditekankan Ferdinand, lebih baik pemerintah mencari jalan tengah yang lebih berpihak pada negara untuk kesejahteraan rakyat. Jika memang tidak ada investor yang mau sama-sama menguntungkan dan bisa memenuhi syarat pemerintah sesuai konstitusi, barulah langkah yang paling berani bisa ditempuh.
“Jika PTFI tidak mau juga memenuhi tuntutan kita, dan tidak ada investor lain yang sesuai harapan, maka pil pahit harus kita telan supaya jadi obat. Hentikan operasi PTFI dan kita kelola sesuai kemampuan kita tanpa ngutang. Lebih baik dapat sedikit tapi milik kita semua darapada dapat banyak tapi milik asing,” pungkasnya. (dna)
Redaktur: Rudi F