Terkait Kasus Dana Hibah KONI, Ahli Administrasi Negara: Kepala Kesbang Tak Seharusnya Dipidanakan

YOGYAKARTA – Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. Muchsan, SH, MH memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Yogyakarta tahun 2013, hari ini, Rabu (11/05/2016) di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Prof Muchsan berpendapat bahwa  terdakwa Kepala Kantor Kesatuan Bangsa (Kesabang) Kota Yogyakarta, Drs. Sukamto sesuai hukum administrasi Negara tidak seharusnya dipidanakan.

Pendapat Prof Muhsan mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang merupakan bagian dari hukum administrasi Negara. Menurutnya, Kantor Kesbang yang merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)  yang bertanggung jawab langsung kepada Wali Kota, bukan kepada KONI. Antara KONI dan Kantor Kesbang tidak ada hubungan struktural.

“Pengurus KONI bukan pejabat publik, bukan juga pejabat swasta, tapi Pejabat TUN (Tata Usaha Negara). Salah satu fungsi KONI melakukan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga bisa digugat dengan Hukum TUN” katanya.

Dikatakan Prof. Muchsan, penggunaan uang Negara dalam UU No 17 Tahun 2003, sebetulnya pelaku pengunaan anggaran hanya ada owner dan user. Dalam kasus dana hibah koni 2013 ini, kata dia, pemilik (owner) anggaran adalah Pemkot Yogyakarta, sedangkan user-nya adalah Koni.

Kesbang, kata dia, bukan operasional menangani KONI, tapi fungsional. Dijelaskan Prof Muchsan, dalam hukum ada argumentatif yuridis.  Dari hukum tata negara, anggaran Negara, dalam kasus aquo ini jika (dana) dari kesbang sudah turun ke KONI, maka tanggungjawab sepenuhnya pada KONI. Jika KONI mau menyerahkan dana tersebut ke siapa saja, tidak ada masalah selama disepakati kedua belah pihak antara pemberi dan penerima hibah. Sebab, payung hukumnya adalah hibah, bedasarkan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Hal itu menguatkan bahwa kasus tersebut adalah murni perdata,

“Dalam perjanjian ada kebebasan kontrak. Sehingga seharusnya wan prestasi, bukan pidana, tapi perdata. Jadi mengingat Koni sebagai user utama, maka kesalahan penerima hibah adalah kesalahan Koni. Yang dimintai pertanggungjawaban harusnya user dulu bukan owner. Jadi aneh jika yang dikejar adalah owner, user tidak sama sekali,” tukasnya.

Menjawab  pertanyaan Kuasa Hukum terdakwa, Hartanto, SH.M.Hum terkait keterangan saksi dari pengurus KONI Handoko  yang mengatakan terdakwa yang mengusulkan tiga mata angaran yang dipersoalkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sementara saksi lain mengatakan usulan dari Ketua KONI, Iriantoko, dijelaskan Prof Muksan bahwa hal tersebut tidak bisa menjadi acuan terdakwa bersalah.

“Atas suatu usulan , KONI bisa menerima atau menolak. Terdakwa itu berwenang mengusulkan, tapi kalau sudah melalui rapat Pleno Koni, maka usulan KONI  secara yuridis formatif yang sah. Kepalaa Kesbang itu terlalu alim. Mestinya KONI melakukan kesalahan, kesbang  menegur. Tapi Kesbang membiarkan, jadi hanya mall administrasi (kesalahan administrasi). Pidananya tidak ada,” ucapnya.

Lebih lanjut dijelaskan Prof Muchsan, terkait mall administrasi sebagaimana juga disebutkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya ada sanksi teguran dari pemilik utama dana hibah, dalam hal ini adalah Wali Kota Yogyakarta.

“Jika teguran sudah dilakukan, maka No problem,” tegasnya.

Sementara terkait penambahan tiga mata anggaran yang diusulkan terdakwa formilnya sudah benar. Sememestinya kalau ada kesalahan Koni melapor ke Wali Kota.

“Selama Wali Kota belum melakukan teguran, maka seharusnya tidak ada pihak lain yang memberikan sanksi kepada terdakwa,” tukasnya.

Sementara terkait pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bagaimana jika ternyata Kesbang sebagai owner sekaligus juga user? Prof Muchsan kembali mengacu kepada UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Menurutnya hanya ada owner dan user, tidak ada definisi owner sekaligus user. Sedangkan terkait adanya dugaan usulan tiga mata angaran dari kesbang disetujui KONI karena ada unsur paksaan atau ketakutan, menurut Prof Muchsan, hal itu tidak ada dasar hukumnya dalam administrasi negara.

“Ini kasuistik, dalam formalitas tidak ada,” ucapnya. 

Selain Prof Muchsan, saksi ahli yang dihadirkan adalah ahi hukum Tata Negara, Kelik Hendrosuryono, SH. M.H , dan ahli bahasa,  Prof Faruk. Sementara saksi meringakan lain yang dihadirkan adalah tujuh orang. Masing-masing, Husni Eko Prabowo (Kasi Kepemudaan Kesbang Kota Yogyakarta), Basri (staff seksi keolahraagaan), Berlandika Candra Pramdita, Thosan Yogi Candra, dan Tejo Suharto yang bersaksi atas keberadaan karpet yang dianggap fiktif oleh JPU. Kemudian, Supardi dan Sayo yang bersaksi sebagai penerima dana hibah KONI yang disalurkan melalui staff Kantor Kesbang tanpa potongan. Terdakwa juga membawa barang bukti berupa 200 lembar karpet atau matras yang diusung dengan satu mobil bak terbuka (pick up). Bukti tersebut dianggap jaksa fiktif, padahal menurut para saksi, selama ini karpet tersebut disimpan di ruang rapat Dinas Kesehatan yang hanya berbatas sekat dengan kantor Kesbang dan pernah digunakan untuk event pertandingan tekwondo Wali Kota Cup di Stadion mandala Krida Yogyakarta. (kt1)

Redaktur: Agung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com