Bunga dan Mawar, Sosok Kartini Masa Kini

Oleh: Ragil Chandra S*

DISETIAP pengorbanan, pasti ada ‘bunga’ dan ‘mawar’, nama samaran bagi korban pelecehan seksual. Publik mungkin sudah bosan disuguhkan meme-meme pengki di selangkangan. Kemudian kita tak perlu berpikir panjang untuk menganalisa dan menelaah terkait maksut dari meme itu. Sebuah korban perkosaan dan pembunuhan merupakan sumber inspirasi bagi mereka yang membuat meme itu. Sebuah ironi, namun di dunia yang viral dan digital ini mungkin masyarakat ingin memberikan Eno sebuah pahala karena bisa membuat orang lain tertawa. Namun yang jelas Eno dan kisahnya bukan hal lucu untuk ditertawakan.

Terlepas dari itu , bila Bapak SBY masih menjadi presiden pasti sesegera mungkin akan muncul di layar TV untuk menyampaikan keprihatinya. Sayangnya kali ini yang menjabat adalah Bapak Jokowi, mungkin dia sesegera mungkin akan turun ke lapangan tanpa numpang di TV untuk mengucapkan keprihatinanya. Atau malah kasus Eno merupakan sebuah hikmah bagi para petinggi yang sedang melakukan reklamasi dan korupsi. Elit politik tak usah menyebarkan bahaya laten PKI di masyarakat untuk sekedar pengalihan perhatian. Mereka cukup duduk manis dan melihat masyarakat ngalor-ngidul membicarakan kekejian dan kebiri.

Memang kasus Eno ini menjadi perhatian publik saat ini. ‘Semua mata tertuju padanya’ untuk sekedar memberikan rasa empati terhadap gadis mungil itu. Namun sayangnya, Eno terlahir dan mati di negeri Indonesia . Negeri penganut pelawak Komeng yang apa-apanya serba spontan. Masyarakat sudah terlalu biasa untuk ber-spontan-ria dengan apa yang terjadi. Eno membooming, masyarakat (termasuk saya) dengan segala analisisnya menerawang kejadian itu dengan segala sudut pandang. Analisa itu digunakan untuk sekedar memberikan bentuk empati dan sekalian pamer analisis pribadi. Tipe-tipe seperti ini sejatinya merupakan watak dari kaum menengah yang beruntung karena bisa ditengah-tengah, kemudian sudah menjamur di kalangan masyarakat secara luas.

Ingatan publik tentunya tidak kabur dengan sosok nama YUYUN. Nama yang familiar terdengar di berbagai media sebelum Eno. Namun ketenaran mereka tentunya tak sebanding dengan nasib yang mereka alami, nasibnya sunguh tragis. YUYUN meninggal gara-gara diperkosa 14 laki-laki secara bergiliran. Ujung-ujungnya korban perkosaan itu juga dibunuh oleh para pelaku.

Yuyun dan Eno memang tidak sendiri, mereka didampingi oleh para korban pemerkosaan di angkot yang pernah booming, ditemani oleh pemerkosaan di kos-kosan dengan pembiusan, ditemani oleh perkosaan seorang anak oleh bapaknya, ditemani oleh ribuan perempuan yang telah mengalami pelecehan seksual. Kemudian mereka juga ditemani data tahun 2016 Komnas Perempuanyang mencengangkan. Dari kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18% dan sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).

Data tersebut menemani elegi yang menimpa Yuyun dan Eno semakin membuka mata publik, bahwa perempuan Indonesia sedang tinggal di neraka. Alasanya sederhana, perempuan Indonesia rawan terhadap pelecehan seksual, dan rawan untuk dijadikan bahan guyonan dan penghakiman bahwa mereka tidak menutupi aurat mereka dengan baik. Tentunya, bunga dan mawar (sebagai nama samaran) merupakan Kartini masa kini yang harus rela hidup di negeri rawan pelecehan dan beban ekonomi yang semakin memberatkan. Jelas, mereka melawan musuh yang nyata, yaitu bangsanya sendiri.

Tak usah jauh-jauh berbicara emansipasi jikalau besok masih khawatir dengan apa yang akan terjadi dengan ke-perempuananya. ‘Bunga’ dan ‘mawar’ bukan dari kalangan priyayi yang terlindungi oleh identitasnya. ‘bunga’ dan ‘mawar’ harus rela hidup di tengah-tengah himpitan ekonomi dan ancaman dari negeri sendiri. Belum ada hukum yang layak untuk melindungi keberadaan perempuan itu sendiri. Bukan kebiri yang harus menjadi solusi, namun RUU kekerasan seksual menjadi sebuah antibiotik sementara yang menjajikan bagi perempuan. Perlu diingat juga, wanita yang dilacurkanpun masih rawan dengan kasus pemerkosaan. Semoga Eno, Yuyun, ‘Bunga’, dan ‘mawar’ menjadi inspirasi untuk kehidupan perempuan yang lebih dilindungi. Mereka mampu menerobos wajah Kartini masa kini yang tak perlu pakai kebaya dalam waktu setahun sekali.

Tentunya, elegi para korban menimbulkan duka yang mendalam. Namun dibalik itu, terimakasih untuk inspirasinya sehingga muncul tulisan ini. ‘Bunga’, ‘Mawar’, Eno, Yuyun adalah sosok inspirasi bagi negeri, label itu cocok disematkan tanpa perlu menjadi elite politik pada masa kini. Mereka mendonasikan nyawa dan nasibnya, sementara saya sebagai kaum menengah hanya bisa mendonasikan gagasan semata. Kau memang Kartini masa kini dan perempuan dengan sejuta inspirasi. [*]

*Penulis adalah Pengurus di Bhinneka Ceria Institute

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com