Oleh: Siti Ulfa’ati*
Sistem demokrasi di Indonesia mempunyai substansi bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini, sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem demokrasi prosedural yang berkaitan dengan tata cara dan aturan demokrasi. Demokrasi ini mempunyai kewenangan secara prosedur dan dilindungi oleh undang-undang. Salah satu cara menegakkan sistem demokrasi prosedural adalah melalui Pemilihan Umum (pemilu).
Pemilu merupakan wujud nyata dari partisipasi demokrasi tak langsung masyarakat untuk menyusun pemerintahan. Menurut UU No 12 tahun 1945, pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan tujuan. Pertama, Memilih wakil rakyat dan wakil daerah. Kedua, Membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat. Ketiga, Keduanya dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan.
Demokrasi Dagang Sapi
Walaupun pemilu di Indonesia sudah diadakan berkali-kali, tetapi pada kenyataanya prosedur rakyat sebagai pemegang sah kekuasaan di negeri ini masih seringkali terabaikan. Fungsi partai politik sebaga salah satu alat untuk mencerdaskan perilaku politik masyarakat acapkali hanya menjadi pemanis semata. Peran ideologisasi parpol malah semakin bias di era millennium.
Ajang kongres atau munas seringkali dibarengi dengan isu Money Politik. Sementara Parpol dengan model komando atau penunjukan langsung dari pusat malahan menciptakan suatu rezim baru yang tak tergoyahkan. Akhirnya rakyat hanya menjadi obyek pemilu. Setiap menjelang masa kampanye, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pencerdasan hanya dibuai oleh janji manis kampanye. Bagaikan penjual madu yang menawarkan dagangannya, seribu satu cara dilakukan oleh calon legistatif dan eksekutif agar konstituen mau memilihnya. Yang lebih mengherankan menjelang hari-H pemilu, tiba-tiba banyak orang Indonesia menjadi “sabar”. Mereka rela berjam-jam mengantri di bank untuk menukarkan uang. Pecahan nominal seribu, lima ribu dan sepuluh ribu menjadi uang yang paling susah dicari.
Salah satu ambivalensi pemilu yang paling merubah sejarah sistem kepartaian adalah keputusan Makamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Putusan MK adalah suara terbanyak. Jika kita ambil sisi positifnya, keputusan ini semakin menguatkan sistem demokrasi bahwa calon yang terpilih adalah pengumpul suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai, tetapi sisi negatifnya akhirnya stigma politisi kutu loncat menjadi mewabah.
Banyak calon dengan pengalaman ideologisasi yang minim tiba-tiba menjadi pemenang hanya dikarenakan mereka mempunyai modal kampanye yang banyak, sementara pengurus partai yang memulai kaderisasi dari tingkat ranting menjadi terpinggirkan, padahal mau tak mau harus diakui, merekalah yang paling memahami tentang ideologi partai, tetapi hanya karena tidak punya modal capital yang cukup, akhirnya hanya menjadi penggembira semata. Partai pun semakin kehilangan ideologinya dan anya untuk memenuhi target suara mereka menggunakan cara-cara instan untuk menggaet pemilih. Pengusaha dengan modal kapital kuat dan artis dengan popularitas tinggi menjadi target utama. Akibatnya banyak kader partai potensial akan semakin tersingkir. Bukannya saya tidak sepakat ketika pengusaha atau artis menjadi calon eksekutif atau legistatif, tetapi jikalau mereka belum mendapatkan pemaknaan ideology dari partai pengusungnya seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil hanya berdasarkan finansial atau popularitas semata. Karena bagi rakyat Indonesia, memahami ideologi dibutuhan proses yang lama. Itulah kenapa ideologi sosialisme Marxis atau Marhaennya bung Karno tidak akan lekang dimakan waktu.
Generasi Muda yang Hiperaktif
Generasi mudapun menjadi obyek doktrinasi pemilu. Sifat generasi muda Indonesia yang responsif tetapi tidak mau untuk mengecek kembali kebenaran suatu berita menjadikan mereka sebagai wajan besar tembat penggorengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Apalagi sekarang akses informasi sudah menyebar sampai ke pelosok negeri. Setiap orang kapanpun dan dimanapun bisa dengan mudah mendapatkan informasi lewat internet, akhirnya media sosial menjadi ajang peperangan tersendiri. Penduduk Indonesia pun tergolong aktif sebagai konsumen media sosial.
Berdasarkan penelitian Semiocast dan Social Baker yang merilis bahwa jumlah pemilik akun Twitter menempati urutan kelima dunia dengan jumlah 19,5 juta sementara Facebook menduduki peringkat 4 dengan jumlah 51 juta. Sungguh pasar yang menarik untuk melegitimasi suatu isu
Viral-viral yang bernada kampanye hitam sudah menjadi makanan sehari-hari di media sosial, hujat menghujat calon kandidat langsug ditanggapi dengan nada satir. Bahkan meme-meme yang tidak bertanggungjawab mendapatkan perhatian tersendiri. Bentuk pemahaman demokrasi mempunyai pengertian sebagai sarana untuk mencari musuh baru, karena bagaimanapun juga banyak akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Realitas Pemilu
Pelaksanaan pemilu yang akrab disebut ajang Demokrasi prosedural hanya menjadi romantika pesta semata, hingar binger tetapi tidak mempunyai makna yang mendalam. Pemilu bagi sebagian kalangan rakyat justru melahirkan sikap yang acuh. Sebab, hajatan politik ini hanya menjadi ritual yang tak mewakili kepentingan eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, jadi wajar saja jika setelah pemilu selesai mereka merasa diperalat oleh para pemegang kekuasaan yang telah mereka pilih. Mereka hanya menjadi raja ketika pemilu berjalan dan kembali menjadi budak tertindas ketika para pemangku kekuasaan sudah mengucapkan janji pelantikan. Inilah kenyataan yang selalu terulang setiap kali bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi.
*Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam NU Kab.Pati