JAKARTA – Istilah mahar politik menjadi isu hangat memasuki tahapan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2018 ini.
Isu tersebut mencuat paska pernyataan kontroversial La Nyalla Mattalitti yang mengaku dimintai uang untuk mendapatkan rekomendasi sebagai bakal calon Gubernur Jawa Timur dari Partai Gerindra dengan mahar politik sebesar Rp 40 miliar. Munculnya isu tersebut mendapat tanggapan beragam dari kalangan politisi.
Menurut Ketua DPP Partai Hanura, Abdul Azis Khafia untuk mengusung bakal calon kepala daerah di partainya tidak mengutamakan mahar politik, namun didasarkan pada proses dan tahapan yang berjenjang.
Dikatakan Anggota DPD RI ini, Hanura menjelaskan proses seleksi dimulai dari level bawah yakni Dewan Pimpinan Cabang (kota/kabupaten) untuk mengusulkan kepada Dewan Pimpinan Daerah (provinsi), kemudian disampaikan ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
“Dalam hal biaya Pilkada tentu partai bersama koalisi partai koalisi dan calon secara bersama-sama mencari untuk keperluan kampanye. Itu bersumber dari partisipasi berbagai elemen dan perorangan yang kesemuanya dilaporkan secara terbuka,” jelasnya kepada awak media di Jakarta, Minggu (14/01/2018).
Angota legislatif asal DKI Jakarta ini menegaskan biaya politik dikeluarkan kandidat setelah ditunjuk oleh partai untuk keperluan kampanye, sosialisasi dan konsolidasi,
“Hanura tidak mengenal mahar dalam pengusungan calon,” tegasnya.
Berbeda dengan Ketua DPP PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno. Ia mengatakan mahar politik yang dimintai kepada bakal calon kepala daerah untuk bisa diusung oleh partai politik itu hanya beda definisi dan persepsi saja.
Menurut Anggota DPR RI ini, mahar politik itu ada yang mengartikan sama dengan biaya politik seperti untuk saksi dan sosialisasi, tapi ada juga yang mengartikan lain sehingga menjadi ruwet,
“Ada yang mengartikan sebagai biaya politik plus fee untuk makelar politik,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, baru-baru ini.
Untuk PDIP, kata dia, setiap calon kepala daerah yang akan diusung ditanyakan banyak hal, termasuk kesiapan dalam pembiayaan politik.
Sementara terkait biaya politik, kata dia, sebenarnya tidak susah dihitung karena bisa dilihat dari berapa jumlah TPS, berapa jumlah kecamatan dan desa termasuk berapa jumlah petugas yang disiapkan.
“Berapa standar honor, berapa standar biaya sosialisasi, berapa jumlah atribut. Itu semua bisa dihitung,” imbuhnya. (kt7)
Redaktur: Rudi F