Oleh: Langgeng Mahardika*
Kendati belum mamasuki masa kampanye resmi sesuai aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun kampanye dari para pendukung atau Tim Sukses Calon Presiden (Timses-Capres) untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2019 sudah berlangsung. Masing-masing sudah mulai memamerkan visi – misi dan program serta mengajak khalayak mencoblos jagoannya. Formalnya, itu jelas melanggar Peraturan KPU (PKPU).
Harus diakui, memang hal itu sudah mentradisi hampir dalam setiap suksesi kekuasaan politik di Indonesia dan sangat kentara paska reformasi. Menabrak aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh para pendukung dan Timses sudah menjadi sesuatu yang lazim. Seolah tidak ada yang menginsyafi bahwa para founding father kita salah satunya mengajarkan demokrasi yang beradab, taat azas, aturan dan hukum. Itulah cita-cita demokrasi Pancasila.
Pertanyaannya, jika prosesnya saja sudah melanggar peraturan hukum begitu, bagaimana mungkin hasilnya akan muncul Presiden dan Wakil Presiden yang benar-benar bisa menjunjung supremasi hukum?
Bagaimana bisa penegak hukum di bawah kepemimpinan sang presiden terpilih nanti bisa menegakkan hukum? Sedangkan saat proses pemilihan, aparatus penegak hukumnya saja, yaitu KPU dan Bawaslu plus Penegak Hukum Terpadu (Gakumdu)-nya lemah?
Tak bisa dinafikkan dan bisa kita lihat di media sosial atau bahkan di media massa, terpampang panggung demokrasi (a la demokrasi liberal) yang digaduhi suara menghujat antar kubu pendukung Capres. Cuit perseteruan antara Kecebong dan Kampret di dunia maya tak henti-hentinya. Nada-nada menjatuhkan terus diproduksi dan diaransemen ulang. Padahal, para Capres kerap mengimbau agar masyarakat senantiasa menjaga suasana Pilpres yang sejuk, damai, dan tidak saling menjatuhkan. Mereka sering berujar, “ Jaga persatuan, jangan sampai gara-gara Pilpres rakyat terpecah,”serta seabreg retorika lainnya.
Pertanyaannya (lagi), bagaimana mungkin akan tampil presiden yang tegas, berwibawa, disegani, dan didengar rakyat keseluruhan, sedangkan oleh pendukung fanatiknya saja tidak digubris?
Tentu para Capres berikut jajaran timses dan pendukung paham betul bahwa siapapun yang terpilih kelak, tidak hanya akan memimpin para simpatisan, timses atau kelompok koalisi pendukungnya saja, tapi memimpin seluruh rakyat Indonesia. Ya, tentu saja termasuk memimpin pemilih atau pendukung rivalnya dalam Pilpres plus yang tidak memilih. Kelompok tidak memilih bukan hanya kalangan yang disebut Golongan Putih (Golput), tapi remaja dan anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.Mereka juga bagian tumpah darah Indonesia yang akan terdampak kebijakan sang presiden kelak.
Selanjutnya, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dengan segala kewarasan lahir dan batin: Siapa yang bisa jamin setelah Pilpres usai tidak ada lagi saling serang antar kubu pendukung yang kalah dengan yang menang, setidaknya sampai Pilpres 2024 (kalau belum kiamat he he he)? Siapajuga yang bisa pastikan keadaan akan lebih baik setelah Pilpres dengan proses yang dipenuhi perseteruan antara yang berkarakter Kecebong dan Kampret?
Kalau logika proses menentukan hasil, maka proses Pilpres yang prosesnya dikotori cara-cara tidak ber peri kemanusiaan, maka mustahil terpilih presiden yang beradab.
Lalu, kalau ragu-ragu apakah baik atau buruk Capres yang ada salahkah jika ada yang memutuskan tak ingin memilih? Bukankah jika ragu-ragu lebih baik tidak memutuskan?.
Oleh karenanya, jika kita benar-benar serius mau ‘membuat’ presiden yang baik maka berproseslah yang baik, tidak menunjukkan perangai Kecebong, Kampret dan sejenisnya. Sebab, Persatuan Indonesia terlalu berharga untuk diacak-acak timses dan pendukung Capres yang bermental Kecebong dan Kampret. (*)
*Penulis adalah pegiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta