Edutek  

Budaya Sekolah Cerminan Karakter Generasi Milenial

Oleh: Teguh Wiyono, M.Pd.I*

Kebiasaan di masyarakat kita apabila menjumpai anak yang tingkah lakunya kurang tepat atau nakal, bisanya langsung ditanya “sekolahnya dimana?, gurunya siapa, diajar gurunya siapa, dan diajari tata krama apa tidak?”. Kebiasaan tersebut sudah melekat dalam benak setiap orang hingga saat ini, meskipun generasi anak sudah berubah yang sering dikenal dengan anak generasi milenial atau generasi jaman now. Masyarakat menganggap bahwa sekolahlah yang tepat untuk membentuk anak berkarakter baik.

Berdasarkan pada amanat Undang-undang Dasar 1945 pendidikan di sekolah merupakan suatu tempat yang berupaya mencerdaskan dan mencetak kehidupan bangsa yang bertaqwa, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara, terampil, kreatif, berbudi pekerti yang santun serta mampu menyelesaikan permasalahan di lingkungannya. Sehingga wajar saja jika orang tua atau masyarakat menilai bahwa perbuatan yang ditimbulkan oleh seorang anak, baik karakter yang positif maupun negatif disebabkan oleh pola pendidikan yang diperoleh dari bangku sekolah.

Lantas pola pendidikan di sekolah yang seperti apa yang dapat mempengaruhi karakter anak menjadi tidak baik, diantaranya; dari segi kedisiplinan/peraturan sekolah. Kedisiplinan sekolah yang berbentuk peraturan sekolah biasanya jika dijalankan dengan baik maka akan dapat menciptakan anak yang taat Hukum, namun yang terjadi di lapangan banyak warga sekolah yang melanggar dan tidak mentaati peraturan tersebut. Misalnya anak datang terlambat seharusnya mendapatkan sangsi yang tegas dan mendapatkan poin atau melaksanakan hukuman, tetapi terkadang hanya dibiyarkan saja, hal tersebut yang menjadikan anak suka melanggar hukum dan suka melakukan perbuatan yang negatif. Kemudian, berkaitan dengan kedisiplinan jam pulang sekolah. Jika sekolah yang selalu memulangkan siswanya lebih awal dan tidak tepat pada waktunya hal tersebut juga dapat menimbulkan anak bermain di tempat “games” atau bermain dengan anak yang kurang baik, hal tersebut tentunya akan memunculkan sikap anak suka membolos dan berbohong.

Kurangnya Teguran

Kebiasaan lain di sekolah yang biasanya dilanggar oleh warga sekolah, yaitu anak yang berkata kasar atau tidak menggunakan tata krama bahasa yang tepat tetapi hanya dibiarkan saja. Misalnya “Bu bali jam pira?, engko sida latihan apa ora pak”, ora usah ana PR ngapa Pak/Bu” hal tersebut juga yang dapat menjadikan anak-anak generasi milenial kurang memiliki tata krama atau unggah ungguh kepada orang yang lebih tua. Akibat tidak ditegurnya bahasa anak menjadikan anak tersebut merasa tidak bersalah. 

Kemudian dari segi pembelajaran. Banyak guru yang mengajar hanya meninggalkan tugas karena terlalu banyak menyelesaikan administrasi. Siswa ketika ditinggal oleh gurunya dan hanya diberitugas mereka rata-rata hanya bermain di dalam kelas bukanya mengerjakan tuganya. Karakter anak sekarang atau generasi now mereka akan selalu mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang yang dewasa. Jika orang yang lebih dewasa tingkah lakunya baik anak tersebut akan patuh, sebaliknya jika orang dewasa tersebut selalu melanggar peraturan atau hanya “Jarkoni” (bisa mengajar tetapi tidak bisa melakoni), maka anak tersebut semakin berani.  

Selain itu, sekolah hanya mengejar kegiatan yang bersifat akademik dan tidak mengadakan kegiatan seperti ekstrakulikuler yang sesuai keinginan siswanya akan menibulkan terpendamnya bakat dan potensi anak, karena kebanyakan anak-anak yang kurang baik/nakal, mereka rata-rata tidak menyukai pelajaran yang berfikir tetapi lebih menyukai kegiatan yang bersifat fisik, hal tersebut tentunya akan meminimalisir tingkah laku negatif yang ditimbulkan.

Dapat diketahui bersama bahwa karakter anak zaman now semakin nyeleneh dan semaunya sendiri, bahkan ada yang mengatakan karena banyak micin. Anak-anak cenderung egois, tidak suka bekerja sama. Hal ini disebabkan seringnya mereka lebih suka bermain game lewat ponsel android daripada permainan tradisional yang mengajarkan perilaku untuk bekerjasama. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri, baik itu di kota maupun di pelosok desa sekalipun. Karakter anak pada generasi millenial betul-betul sangat memprihatinkan. Mereka tidak bisa menghargai orangtua maupun gurunya. Bahkan dari mereka juga terkadang terjebak pada dunia kriminal dan narkoba. Generasi millenial dalam minat belajar juga sebagian besar mengalami kemunduran.

Generasi millenial mempunyai tujuh sifat dan perilaku sebagai berikut: millenial lebih percaya informasi interaktif daripada informasi searah, millenial lebih memilih ponsel dibanding TV, millenial wajib punya media social, millenial kurang suka membaca secara konvensional, millenial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka, millenial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif, serta millenial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless. Sehingga pendidikan di sekolah harus bisa ekstra mengarahkan anak-anak generasi milenial memiliki karakter yang baik.

Lingkungan Kondusif

Agar sekolah berhasil untuk mencetak para generasi milenial yang baik sesuai dengan karakter bangsa maka perlu menciptakan lingkungan yang kondusif melalui budaya sekolah yang memiliki karakter yang kuat. Budaya sekolah merupakan sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, pendidik/guru, petugas tenaga kependidikan/administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Selain itu, Budaya sekolah harus mempunyai misi menciptakan budaya sekolah yang menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, terintegratif, dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan mempunyai karakter takwa, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yang dapat berperan dalam perkembangan IPTEK dan berlandaskan IMTAQ.

Selanjutnya, dalam mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada program yang terarah. Dalam mengembangkan budaya sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah.

Ada tiga hal yang perlu dikembangkan di sekolah dalam mengembangkan budaya sekolah, yaitu: Pertama, budaya agama. Menanamkan perilaku atau tata krama yang tersistematis dalam pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang baik (Akhlaqul Karimah). Bentuk Kegiatan contohnya; Budaya Salam, Doa sebelum/sesudah belajar, Tadarus, Sholat Dzuhur Berjamaah, Studi Amaliah Ramadhan, Hafalan Juz Amma, Kegiatan Praktek Ibadah, Buka Puasa Bersama, Pengelolaan ZIS, dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam).

Kedua, budaya kerjasama (Team Work). Menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial terhadap sesama melalui kegiatan yang dilakukan bersama. Bentuk Kegiatannya misalnya; MOS, Kunjungan Industri, Parents Day, Baksos, Teman Asuh, Sport And Art, Kunjungan Museum, Pentas Seni, Studi banding, Ekskul, Labs Channel, Labs TV, Labs Care, Pelepasan Siswa, Seragam Sekolah, Majalah Sekolah, Potency Mapping, Buku Tahunan, PHBN, (Peringatan hari Besar Nasional), dan PORSENI.

Ketiga, budaya kepemimpinan (Leadhership) : Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari sejak dini kepada anak-anak. Bentuk Kegiatannya; budaya kerja keras, cerdas dan ikhlas, budaya Kreatif; Mandiri & bertanggung jawab, Budaya disiplin/TPDS, SAKSI, (Studi dan Apresiasi Kepemimpinan Siswa Indonesia), Lintas juang OSIS, Ceramah Umum, upacara bendera, Olah Raga Jumat Pagi, Studi Kepemimpinan Siswa, LKMS (Latihan Keterampilan manajemen siswa).

Jika suatu sekolah dalam melaksanakan kegiatan dan menciptakan suasana yang kondusif dalam pembelajaran dan penanaman karakter yang kuat tentunya akan menjadi cerminan bagi generasi milinial untuk selalu bertingkah laku dengan karakter yang baik, begitu juga sebaliknya. Jika Anak bertingkah nakal bisa jadi cerminan pola pendidikan yang tidak berbudaya. (*)

*Penulis adalah Dosen di Universitas Harapan Bangsa dan Universitas Terbuka Purwokerto Pada Fakultas Pendidikan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com