Perubahan Satu Pasal Pada UU MD3 Dinilai Kerjai DPD

YOGYAKARTA – Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), khususnya Pasal 249 ayat (1) huruf j UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua, menuai rekasi kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Pasal tersebut pemberian kewenangan bagi DPD RI dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperda) dan peraturan daerah (perda).

Anggota DPD RI Dapil DIY Cholid Mahmud menilai, satu pasal dalam UU MD3 itu, DPR sudah “mengerjai” DPD RI. Menurutnya Pasal tersebut belum pernah ada sebelumnya,

“Pasal di mana parlemen mengevaluasi Perda dan Raperda,” kata dia saat FGD di Kantor Sekretariat DPD RI Perwakilan DIY, Jalan Kusumanegara Yogyakarta, Kamis (11/07/2019).

Acara FGD ini diikuti 50 peserta dengan mengambil tema ‘Penyusunan Kebijakan Legislasi Daerah dan Sosialisasi Kewenangan Pemantauan dan Evaluasi Racangan Perda dan Perda oleh DPD RI.

Cholid mengatakan, secara prinsip DPD merupakan perwakilan perjuangan daerah ke pusat, , namun di sisi lain, DPD RI mendapat kewenangan mengevaluasi Perda atau Raperda,

“Ini kan lucu ya, evaluasi itu ujung-ujung menghalangi,” ujarnya.

Dia mengatakan, saat pasal ini diberikan kepada DPR, saat pembahasan pasal ini tidak melibatkan DPD. Artinya, kata dia, DPD bukan mengusulkan atau meminta pasal itu dimasukkan dalam UU MD3.

“Adanya pasal ini seolah DPD diberi kesibukan baru atau mainan baru agar tidak menyibukkan DPR,” tutur Cholid.

Dia mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut kewenangan Mendagri dalam membatalkan Perda. Saat ini kalau perda ingin dicabut harus melalui yudisial review atau digugat di Mahkamah Agung (MA).

Cholid menandaskan, saat ini DPD RI sedang mencari formula yang tepat dalam menjalankan kewenangannya sesuai pasal dalam UU MD3 itu,

“Maka dibentuk alat kelengkapan bernama membentuk panitia urusan legislasi daerah (LUPD), khusus menyoroti pasal dalam MD3 agar kesannya tidak menghalangi daerah,” tukasnya.

Dijelaskan Cholid, DPD RI bukan sekadar penyaring Perda lebih bagus. Menurutnya DPD itu wakil daerah yang berjuang di pusat,

“Bukan sebaliknya DPD menjadi alat pusat untuk mempersulit daerah,” jelasnya.

Ketua Dewan Dakwah Islamiyah DIY ini secara pribadi mengaku tidak sepakat dengan pasal tersebut, karena tidak memperkuat peran DPD,

“Tapi justru mereduksi kewenangan DPD dalam memperjuangkan daerah,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Dosen Tata Negara Universitas Atmaja Yogyakarta B. Hestu Cipto Handoyo mengatakan, sampai saat ini banyak Perda di banyak daerah yang tumpang tindih, kontraproduktif dan berseberangan.

“Termasuk keberadaan lembaga atau dinas di daerah sebenarnya overlap dengan peran dan tugasnya,” kata dia.

Dicontohkan Hestu,  sejak lahir UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, bidang kebudayaan diampu oleh dinas atau badan di tingkat provinsi,

“Namun, kenyataannya kebudayaan tidak hanya kewenangannya di provinsi. Kabupaten/kota juga mengurusi kebudayaaan. Mengapa ada dinas kebudayaan di tingkat kabupaten dan kota,” tutupnya. (kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com