Menyoal Santri yang Bukan Santri

Oleh: Algazella Sukmasari*

Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tak asing mendengar  kata santri. Umumnya, kata santri identik dengan seseorang yang kesehariannya mengaji kitab kuning di pondok pesantren.Asal-usul kata santri memunculkan pendapat yang berbeda. Salah satunya saja pemikiran Nurcholis Majid, seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, yang mengatakan bahwa istilah santri berasal dari kata cantrik (bahasa Sansekerta atau Jawa). Cantrik memiliki arti orang yang selalu mengikuti guru (atau dalam kasus ini kyai). Sedangkan versi lain menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong). Bisa disimpulkan bahwa kata pesantren berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Akan tetapi, di era milenial seperti sekarang, istilah santri yang katanya ‘orang baik yang belajar di pondok dan mengaji’ telah mengalami pergeseran makna. Pun pada tujuan mereka berada di pondok.

Dulu, orang yang menuntut ilmu di pesantren tak lain karena kemauan dan tekad sendiri. Teriring restu orangtua yang hanya mampu mendukung, santri-santri ini berjuang demi hidup di pondok dengan segala kesederhanaan dan keprihatinannya.

Zaman pun berganti. Era juga telah berubah. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi menciptakan pergaulan yang kian mencemaskan. Sampai-sampai demi menyelamatkan anak-anaknya agar tidak terpengaruh, orangtua memilih ‘jalan mudah’ dengan memondokkan putra-putrinya ke pesantren.

Inilah masalah utamanya. Alih-alih bertanya mengenai sanad keilmuan dan kitab apa yang dipelajari di pesantren, orangtua malah menanyakan hal lain. Misalnya,  “Bagaimana tempat tidurnya, ada kasur tidak? Sekamar berapa orang? bagaimana makanannya, enak tidak? Boleh pulang seminggu sekali tidak?”

Peradaban bukan mengubah zaman dan kebiasaaan, tapi juga pola pikir. Nah, itulah yang terjadi pada para wali santri dan santri era digital ini. Orangtua harusnya sadar bahwa memondokkan anak tidak hanya demi mencari ilmu akhirat, tetapi ada keberkahan yang mengiringi. Bukan hanya mementingkan kenyamanan, orangtua harus mengerti bahwa keprihatinan yang dialami anaknya selama mondok nantinya akan berbuah manis.

Kembali pada topik era digital. Mengenai ini, kyai-kyai salaf agaknya satu suara untuk melarang santrinya bertanya pada ‘Kyai Google’. Generasi santrimilenial belajar agama melalui internet, apalagi santri yang mondok sambil kuliah. Namun,  menurut kyai salaf, aplikasi pencarian google tidak mengindahkan ilmu dalam bidang agama. Tidak adanya sambungan sanad dan proses penyaringan informasi menjadi salah satu alasan. Santri-santri ini terlalu asyik berguru melalui Google dan Youtube sehingga lupa belajar agama seperti santri pada umumya yang secara langsung bertatap muka dengan kyai. Padahal belajar dengan kyai yang sanad keilmuannya tersambung dari pengarang kitab sampai ke Rasulullah begitu penting.

Nah, mengenai fenomena ini, akan lebih baik jika hal-hal seperti itu tidak mengekang. Islam agama yang gampang, namun bukan berarti digampangkan. Hanya saja, menuruti perkembangan zaman, santri juga perlu dirombak. Salah satu contohnya saja mengenai penggunaan internet.

Bukan berarti diharamkan. Akan tetapi, memang ada beberapa ilmu yang hanya biasa dicari di Google. Pun kita perlu kritis ketika membaca suatu situs atau menyaksikan video di Youtube. Santri perlu kritis juga, tidak hanya menurut ngendikan kyai tanpa bertanya, “Untuk apa sebenarnya kita melakukan ini?”

Bagaimana Seharusnya Santri Bersikap

Tidak perlulah disangkal manutnya santri pada kyai dan hebatnya mereka dalam urusan nahwu-shorof. Sebagian besar orang tidak akan membantah hal ini. Tapi, jika benar-benar ditelusuri, tidak semua pondok berlaku sama. 

Contoh kecilnya, pondok yang sekaligus sekolah. Memang benar ada beberapa pondok pesantren yang bagus. Akan tetapi, kebanyakan dari madrasah seperti itu adalah yayasan bagi kaum terpinggir yang miskin dan terbiasa bertingkah buruk.

Tradisi yang mengakar, baik bagi pesantren pinggiran maupun pesantren modern yang kelewat bagus, adalah ghosob. Tradisi ini benar-benar jelek dan entah mengapa sulit dimusnahkan. Padahal santri ngaji, tapi kenapa mencuri? Begitu kira-kira pertanyaan yang muncul di benak. Jadi, itu santri atau `santri`? Atau santri gadungan mungkin.

Kemudian, contoh lain mengenai nahwu-shorof. Ini adalah hal paling krusial. Namun, sepertinya beberapa pondok tidak mementingkannya. Mondok tiga tahun tidak bisa tasrifan. Mondok tiga tahun tidak bisa utawi-iku. Jadi, untuk apa tiga tahun mondok? Menyia-nyiakan hidup. Seharusnya, jika belajar serius di pondok, waktu tiga tahun bisa mengantarkan kiprah seseorang menjadi kyai atau nyai.

Yah, kehidupan santri kini tidak lepas dari pengaruh media dan informasi yang juga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Perubahanan yang bernilai negatif atau positif tergantung bagaimana santri menyaringnya tanpa meninggalkan identitasnya sebagai santri. Santri era digital harus jadi santri yang tanggap akan kemajuan zaman. Namun, tidak meninggalkan ciri kesantriannya.

Santri era digital harus bisa menjadi pelopor perkembangan peradaban baik di masa kini maupun masa mendatang. Selain ilmu agama, santri harus pula memiliki ilmu untuk menghadapi zaman, termasuk menghadapi era industri 4.0. (*)

*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang serta Santriwati Darul Qolam 1

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com