Membentuk Mental Pahlawan di Era Digital

Oleh: Syukur Abdillah*

10 November adalah hari yang mengingatkan kita kepada Bung Tomo, seorang pemuda yang menggelorakan sengangat pemuda lainnya di Surabaya melawan kolonialisme, mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang baru seumur jagung ditahun 1945 lampau. Kala itu, para Pemuda dengan tak gentar mengangkat senjata menghadapi musuh-musuh bangsa asing yang hendak kembali menduduki Surabaya.

Itulah potret kepahlawanan pemuda diera perang kemerdekaan. Momentum 10 November hingga era milenial ini tetap diperingati dengan tujuan mewariskan nilai-nilai juang kepahlawanan pemuda dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pewarisan nilai-nilai itu penting, mengingat pemuda saat ini sangat berbeda karakternya dengan pemuda dimasa-masa pra dan awal-awal kemerdekaan.

Jika dulu pahlawan bisa dinilai dari besarnya semangat bertempur dan berdiplomasi melawan penjajah, maka sekarang beda lagi. Bagaimana pemuda sekarang bisa menjadi atau setidaknya bisa disebut sebagai pahlawan yang memperjuangkan eksistensi bangsanya?

Pada zaman sekarang barangkali bukan lagi diukur dari kekuatan ‘super apa’ yang dimiliki. Namun eksekusi-daya juang, keberanian, pantang menyerah yang luar biasa untuk memenangkan persaingan global diera revolusi industry 4.0.

Pemuda juga bisa menjadi pahlawan dijaman digital ini. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan produktif melakukan transfer ide dan gagasan atau menuliskannya melalui saluran-saluran deigital. Para pemuda bisa menjadi pahlawan bangsa dalam segi kecerdasan intelektual dengan hal itu. Sebab, pemuda zaman sekarang kurang produktif dalam memanfaatkan teknologi, terutama teknologi digital. Kebanyakan lebih memilih berfoya foya dibandingkan untuk berbuat hal positif. Lebih banyak memproduksi postingan yang ber’bau’ hedonism yang sama sekali tak menginspirasi, hanya memamerkan sebagai ‘konsumen’ produk-produk atau karya orang lain.

Jarang sekali pemuda yang produktif menulis karya ilmiah, opini di media massa online. Para pemuda dengan pemikirannya yang masih tangkas dan berani mengajukan pendapat pasti akan lebih mudah untuk menulis hal-hal postif dan ilmiah. Sebaliknya pemuda yang hanya sibuk dengan media sosial dan aktifitas hedonism akan mengalami kebuntuan dalam menciptakan gagasan dan ide-ide yang menginspirasi.

Presiden Soekarno pernah berkata “Beri aku 10 pemuda niscahaya akan kuguncangkan dunia” begitu ucapnya.

Dalam hal ini saya berpendapat bahwa ketika dia mengatakan seperti itu pasti ada penyebabnya kenapa? Jelas pemuda yang diharapkan Bung Karno itu pemuda yang produktif, bukan pemuda yang kontra produktif. Pada zaman itu mungkin belum banyak penulis muda produktif, sehingga belum banyak yang bisa menyebarkan pemikiran ke indonesiaan ke penjuru dunia. Bung Karno menginginkan pemuda-pemuda yang brilian dalam gagasan untuk memajukan bangsa Indonesia dan membawa Indonesia Berjaya di mata dunia.

Indonesia ini bisa maju jikalau pemuda pemuda sekarang berfikir optimis mengalahkan negara-negara lain diera persaingan global, salah satunya melalui menulis untuk menebarkan inspirasi dan motivasi kepada masyarakat. Hal ini seperti yang diterapkan di pondok perkaderan Monash Institut Semarang, dimana penulis bagian di dalamnya. Para pemuda yang disebut sebagai “Dicaples” di pondok tersebut belajar bagaimana untuk memimpin masa depan yang melek politk,dengan meninggalkan kesenangan semu. Kami juga diajarkan untuk berfikir kedapan bagaimana Indonesia maju dengan tidak ada lagi pertengkaran antara golongan Islam. Kami menghindari memperdebatkan hal yang tidak mungkin terjadi sehingga menjadi bodoh.  Contohnya, ketika kita solat disebelah kiri jurang,kanan jurang depan jurang, setelah itu di atas ada seekor burung yang menjatuhkan kotorannya kedepan yang sedang solat tersebut,bagaimana solusuinya? Hal semacam itu tidak perlu dibahas karena tidak mungkin tempat seperti itu dijadikan sebagai tempat solat, apakah tidak ada tempat lain? Serta membahas hal itu hanya membuang-buang waktu saja.

Saya harapkan untuk ke depannya para pemuda saat ini sadar bahwa berfoya-foya itu tidak penting dan berhenti memperdebatkan hal yang tidak penting seperti contoh di atas. Indonesia akan maju apabila pemuda-pemuda pada zaman sekarang untuk berfikir cerdas dalam artian cerdas menentukan masalah dan menyelesaikannya. Jangan hanya berbicara omong kosog!. Wallahua’lam bi al-shawab (*)

*Penulis adalah aktivis HMI Komisariat Syariah dan Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com