YOGYAKARTA – Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak, sehingga berperan besar dalam menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun demikian profesi yang dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, kedudukannya setara dengan tenaga medis, masih rawan terkena jeratan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Hal itu diungkapkan pakar hukum kesehatan, Dr. Edy Wijayanti, SE, M.Kes saat ujian promosi doktor ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di Ruang Auditorium UII Lantai III, Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu (06/11/2019) siang.
Edy menyoroti Pasal 32 UU Keperawatan yang berpotensi disalahtafsirkan, sehingga mengakibatkan banyak terjadi kasus hukum pada perawat. Ia menyebutkan beberapa kasus hukum yang terjadi, diantaranya kasus perawat Mutia di Aceh yang di vonis 1 tahun penjara karena salah memberikan transfusi darah, dan kasus lainnya yang dialami perawat di berbagai daerah,
“Kasus-kasus tersebut terjadi karena pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 membagi wewenang perawat menjadi wewenang delegasi dan wewenang mandat namun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut kriteria wewenang tersebut,”ujarnya.
Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Yogyakarta Bagian Hukum ini menjelaskan, tenaga medis memiliki kewenangan membuat keputusan medis yang menjadi satu rangkaian utuh dengan pelaksanaan tindakan medis, sehingga seharusnya tanggung jawab penuh tetap ada pada tenaga medis. Pada saat kewenangan tersebut di delegasikan kepada perawat, maka perawat hanya membantu pelaksanaan tindakan medis, perawat bukanlah subyek yang secara keilmuan medis mampu membuat keputusan tindakan medis, tidak mampu memprediksi proses dan hasil tindakan medis apalagi mempertanggungjawabkan akibat dari tindakan medis tersebut,
“Makna delegasi adalah tanggung jawab melimpah kepada penerima delegasi. Seharusnya kelalaian yang timbul dari pelaksanaan intervensi medis yang bersumber dari medical science maka sepenuhnya dibawah kontrol tenaga medis yang memiliki keilmuan medis,” jelas Edy yang juga Bendahara Umum Ikatan Keluarga Alumi LEMHANNAS DIY ini.
Gambaran benturan kewenangan yang ada dalam UU Keperawatan menurutnya menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan karena pada keputusan medis atau subyek hukum adalah tenaga medis, sedangkan pada pelaksanaan tindakan medis subyek hukum adalah perawat.
Dalam Desertasinya yang berjudul ‘Wewenang dan Tanggung Jawab Praktik Keperawatan Dalam Kerangka Pelimpahan Kewenangan Tenaga Medis’, Edy mengungkapkan terkait tumpang tindih pengaturan praktik keperawatan dalam kerangka pelimpahan kewenangan tenaga medis, sebenarnya ilmu hukum menyediakan upaya hukum yang di sebut konstruksi hukum untuk mempertautkan sistem formil dengan sistem materiil hukum.
Wewenang dan tanggung jawab perawat dalam kerangka pelimpahan kewenangan tenaga medis menurut UU keperawatan meliputi 3 aspek yakni dari aspek HAN, aspek Perdata dan aspek Pidana.
Pada aspek pidana, UU tersebut tidak memberikan pengaturan terkait pidana baik perbuatan pidana maupun pertanggungjawaban pidana, padahal perawat menyandang profesi yang dibebani kewajiban-kewajiban hukum dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sengketa yang timbul sedianya bisa diselesaikan melalui mediasi sesuai Pasal 29 UU kesehatan,
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam profesinya, kelalaian tersebut harus di selesaikan melalui mediasi, PERMA no. 1 thn 2008 sudah diperbarui menjadi PERMA no 1 tahun 2016 dengan perbedaan bahwa waktu mediasi yang semula 40 hari menjadi 30 hari, semua pihak agar menghadiri secara langsung kecuali ada alasan tertentu, dan ada iktikad baik yang jika tidak dilaksanakan maka ada akibat hukumnya,” tegasnya.
Untuk mengurai persoalan hukum tersebut, dalam desertasinya, Edy menyampaikan rekomendasi yaitu perlu dilakukan gugatan hukum pada pasal 32 UU Keperawatan, sehingga pelimpahan kewenangan menjadi jelas, terang dan merupakan norma baru. Ia juga memandang perlu segera dibentuk Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang pelimpahan kewenangan tenaga medis kepada perawat sebagai petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bagi tenaga medis dan perawat sebagai pejabat pemerintah yang melaksanakan tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Kemudian Edy juga memandang perlu dilakukan legislative review dengan model omnibus law yang didalamnya memuat beberapa peraturan hal yang sama tapi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda untuk dijadikan satu dalam sebuah undang-undng payung adalah terkait pelimpahan kewenangan tenaga medis kepada perawat dalam bentuk pelimpahan kewenangan delegasi,
“Dan penyelesaiaian sengketa kesehatan harus di awali dengan peniaian kriteria kelalian oleh komite etik dan hukum di fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi data awal dan bahan untuk kemudian diselesaikan melalui mediasi (non litigasi) terlebih dahulu oleh semacam badan penyelesaisan sengketa kesehatan yang ditetapkan dengan UU sebelum menlangkah untuk menyelesaiakan melalui jalur pengadilan (litigasi),” tandasnya.
Sidang ujian terbuka (promosi Doktor) dengan Promovenda Edy Wijayanti, dipimpin Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, SH. MH. Selaku Promotor Prof. Dr. Mahfud MD dan dr. M. Nasser, Sp.KK., FINSDV. AADV, D Law sebagai Co Promotor. Sedangkan para penguji yaitu Dr. M. Arief Hermawan, Prof. Dr. Ari Hernawan, Prof Dr Jawahir Thontowi. Sedangkan Prof. Dr. Ali Ghufron yang berhalangan hadir mengajukan pertanyaan pengujian melalui teleconference dari Jakarta.
Selaku Promotor, Prof Mahfud MD tidak banyak memberikan pertanyaan kepada Edy. Ia hanya menegaskan apakah usulan Edy dalam desertasinya agar jika ada persoalan kesalahan atau kelalaian perawat dalam bertugas, lebih mengutamakan diselesaikan secara internal dahulu di manajemen rumah sakit ketimbang melalui ranah hukum,
“Padahal dalam praktik selama ini justru Mahkamah Agung harus memutuskan dulu bahwa sampai tingkat inkracht, di bawah belum selesai misalnya. Apa saudara realistis mengusulkan itu dari sudat ilmu hukum?” tanya Mahfud yang kini menjabat Menkopolhukam RI ini.
Menjawab pertanyaan tersebut, Edy meyakinkan bahwa usulannya sangat realistis, karena selama ini dalam pengalamannya yang bekerja di dunia kesehatan juga sering menghadapi masalah terkait kelalian atau kesalahan tenaga kesehatan di selesaikan di dewan etik internal rumah sakit,
“Itu sesuai dengan UU Kesehatan, UU rumah sakit juga undang-undang terkait lainnya,” jawab Edy yang juga menjabat Ketua Dewan Penasehat Lembaga Bantuan Hukum Perawat Indonesia (LBHPI) ini.
Sementara Co Promotor menegaskan bahwa UU Keperawatan bukan hanya di pasal 32 saja, melainkan banyak kelemahan lainnya,
“Kelemahan yang lain adalah undang-undang ini tidak memiliki pasal pidanapadahal seperti tadi disampaikan bu Edy bahwa banyak sekali perawat yang mendapatkan gugatan Pidana. Kami semua merasa bangga dengan Bu Edy yang mampu menanggalkan profesi keperawatan dan berkiprah pada keilmuan dan memilih judul (desertasi) ini,” ungkapnya.
Edy dinyatakan lulus dengan IP 3,60 (sangat Memuaskan). ia Merupakan Doktor ke 89 dengan sistem pembelajaran terstruktur pada program studi doktor ilmu hukum FH UII, dan doktor yang ke 153 pada UII. (rd1)
Redaktur: Ja’faruddin. AS