Mahasiswa sebagai Agen Pencegah Radikalisme

Oleh: Muhammad A’tourrrohman

Isu terkait radikalisme sedang naik daun di Indonesia. Radikalisme diartikan sebagai sikap dan tindakan dari individu maupun kelompok yang mempunyai keinginan untuk menciptakan perubahan drastis dengan cara-cara kekerasan atau ekstrem, namun bertentangan dengan sistem/norma yang berlaku.

Maraknya kasus-kasus yang memicu tumbuhnya radikalisme menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah, namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Menurut Sesmiarni (2013) dalam Jurnal Kalam menuliskan bahwa radikalisme dalam bidang pendidikan meliputi tindak kekerasan, perkelahian, tawuran hingga saling membunuh. Hasil penelitian dari Direktur Riset Setara Institute Haili, bahwa terdapat 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia yang terpapar radikalisme. Jika semakin banyak kampus atau institusi pendidikan yang terpapar radikalisme, maka mahasiswa sebagai orang yang bernaung didalamnya harus semakin hati-hati.

Bertambah miris lagi melihat pernyataan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa ada 39% mahasiswa yang terindikasi mengikuti paham radikal (bbcnews.com, 2018). Melihat realita ini, maka mahasiswa harus memilih dan memilah dalam mengambil langkah nyata dalam kehidupan dikampusnya.

Kondisi demikian menjadi ancaman serius bagi stabilitas NKRI. Pasalnya mahasiswa memegang masa depan Indonesia sebagai penerus bangsa. Mahasiswa yang sadar akan pentingnya deredikalisasi harus menjadi agen pencegah radikalisme.

Mengapa mahasiswa harus berperan dalam menangkal radikalisme? Mahasiswa membawa misi  penting sebagai Agen of Change, Social of Control dan iron stock. Sejatinya, misi inilah yang harus dipegang dan dilaksankan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat pun menilai bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual yang menjunjung tinggi ideologi bangsa.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah radikalisme yaitu dengan memperkuat gerakan literasi digital. Karena salah satu jalan untuk menyebar radikalisme adalah lewat teknologi atau internet. Penelitian yang dilakukan Gabriel Weimann berjudul Terrorism in Cyberspace: The Next Generation menunjukkan ada peningkatan muatan-muatan terorisme di internet secara signifikan sejak 1998. Sampai tahun 2015, jumlah situs yang terindikasi muatan radikal mencapai 9800 situs (tirto.id, 2017). Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia mengatakan media sosisal mempercepat masuknya paham radikalisme. Sehingga, perlu adanya sikap skeptis dalam mengonsumsi informasi yang diperoleh dari internet maupun media sosial.

Mahasiswa juga bisa menggiatkan sosialisasi pentingnya rasa nasionalisme dan sadar bela negara. Dengan begitu akan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang rasa cinta tanah air. Sesuai dengan  Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa bela negara menjadi sebuah kewajiban bagi rakyat Indonesia. Upaya-upaya untuk mencegah radikalisme tidak akan berhasil jika tidak didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, mari bersama-sama untuk mencegah masuknya radikalisme agar bangsa ini bisa maju dan sejahtera seperti yang diharapkan oleh founding fathers Indonesia.(*)

Penulis adalah Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com