Oleh: Muhammad Abdul Karim
Pandemi covid-19 atau corona virusdisease yang mempunyai dampak luar biasa dengan ditandai jumlah kasus yang terus meningkat di Indonesia harus disikapi oleh masyarakat secara bijak dan harus mengikuti protokoler pemerintah. Berdasarkan data terakhir per 6 April 2020, sudah mencapai angka 2092 kasus yang terkonfirmasi. 2491 pasien dirawat, 209 meninggal dunia dan 192 pasien dinyatakan sembuh.
Melihat fenomena global ini telah memakan korban ratusan negara dimulai sejak akhir 2019 di episentrum virus, Kota Wuhan, Provinsi Huibei, Cina, keganasan pandemi corona dengan cepat menyebar ke 185 negara, dan menjangkiti 278.557 orang (Worldometers per 21 Maret 2020). Ini akan terus meningkat dan mewabah melintasi kota dan negara yang sebelumnya tidak terdeteksi akan ada serangan virus ini. Saking luar biasanya pandemi yang semakin hari semakin mengerikan, menyebar dan menginfeksi banyak orang, tidak berlebihan bila World Health Organisation (WHO) kemudian mengeluarkan instruksi untuk melakukan social distancing atau jaga jarak sosial. Hal tersebut dirasa sangat penting dan cukup efektif untuk mencegah peyebaran Covid-19 atau virus Corona.
Indonesia sendiri pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat corona virusdesease 2019 (covid-19). Pada intinya kepres ini, Jokowi menetapkan darurat masyarakat sehingga harus dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan. Salah satu yang diupayakan oleh Jokowi adalah pembatasan sosial berskala besar yang kemudian diturunkan dalam peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020.
Di luar apa yang disampaikan Presiden dengan pembatasan berskala besar tersebut, memang sebelumnya Pemerintah sudah mengeluarkan protokoler Satu hari setelah Presiden mengumumkan kasus pertama positif Virus Corona (2/3/2020), dengan langsung menunjuk Sekretaris Ditjen P2P Kementrian Kesehatan, Achmad Yurianto sebagai juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Corona. Selanjutnya Pemerintah juga mengambil kebijakan dengan penerapan social distancing dan physical distancing untuk menghambat penyebaran virus Corona Covid-19. Kebijakan tersebut pun di lapisan masyarakat juga sebagian sudah dilaksanakan sebagai wujud pencegahan dan antisipasi penyebaran virus mematikan ini.
Rasah Ngeyel
Semua lembaga Pemrintah baik pusat maupun daerah, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), Komunitas, Relawan, bahkan atas nama pribadi orang per orang ramai-ramai saling mengingatkan bahayanya virus corona di tengah-tengah kita. Televisi, internet, rilis media, media sosial, broodcast, termasuk organisasi agama, sosial, dan komunitas begitu gencarnya mengkampanyekan pola hidup sehat guna menghindari covid-19 ini.
Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, telegram dan beragam medsos selalu dibanjiri dengan berita-berita seputar covid-19 dan upaya pencegahan secara mandiri, mulai dari iklan pembiasaan cuci tangan dan penggunaan hand sanitizer sebelum dan sesudah beraktivitas, pemakaian masker, pembatasan jarak sosial, menghindari bentuk-bentuk kerumunan bahkan termasuk menjenguk orang yang sakit atau melayat saudara yang terpapar virus corona, stay at home, work from home dan study from home sampai dengan menunda untuk keluar kota termasuk mudik lebaran, nanti dulu.
Pemerintah mengeluarkan protokoler dalam menghadapi covid-19 tentu dengan pertimbangan yang matang, serius melibatkan ahli dalam rangka memberikan perlindungan kesalamatan bersama masyarakat Indonesia. Namun demikian masih ada saja kebijakan ini ditentang dengan segala narasinya oleh sebagian masyarakat kita. Beragam narasi yang beredar bisa kita temukan seperti bahasa politisasi, doktrin fatalistik bahwa yang ditakuti hanya Allah, bukan corona, larangan berhimpun tapi masih mengadakan kumpulan organisasi antar etnis, majlis pengajian umat lintas daerah bahkan negara. Ada juga yang berpotensi menjadi orang dalam pemantauan (ODP) atau Pasien dalam Pengawasan (PDP) tetapi masih belum mau mengisolasi mandiri bahkan terdapat oknum yang justru menentang pihak kesehatan untuk diperiksa, himbauan tidak mudik dulu malah beramai-ramai menyewa bus pulang ke kampung halaman dsb.
Harusnya sebagai warga masyarakat yang baik dengan adanya protokoler semacam itu penting untuk diperhatikan. Alasan terpenting, misalnya mengapa kita harus jaga jarak dulu di saat pandemi ini adalah karena kita tidak tahu dan tidak bisa memastikan siapa saja yang sudah terinfeksi covid-19 ini. Penting juga untuk kita pahami, virus ini menyerang tidak mengenal kasta dan jabatan apapun. Tidak miskin tidak kaya semuanya punya potensi terkena bila kita tidak hati-hati, dan teruslah kita waspada, tidak perlu panik dan tetap mengikuti protokolernya.
Penelitian beberapa waktu yang lalu bisa dijadikan tolak ukur seberapa jauh penularan virus ini tidak terdeteksi dari pembawa virus terlebih dahulu. Berdasarkan statistik Wuhan menunjukkan bahwa terdapat sekitar 59% orang yang sudah terinfeksi pergi keluar dan tanpa sadar menulari orang lain. Catatan juga dari 565 pengungsi Jepang dari Wuhan, sebanyak 4 (empat) dari tiga belas atau sekitar 31% nya dinyatakan positif tetapi tidak menunjukkan gejala apapun.
Jadi kalau disimpulkan kemungkinan besar ada sekitar 50% pasien virus Corona yang tidak terdeteksi karena tidak memiliki gejala alias negatif. Malah ada pula pasien meninggal dunia sementara hasil laborat rumah sakit belum keluar, dan dinyatakan positif setelah dimakamkan. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi semacam ini akan menimbulkan ancaman bagi penularan infeksi. Maka dari itu betapa pentingnya kita berhati-hati setiap bertemu atau bertatap muka dengan orang lain, tetap jaga jarak dan memakai masker sebagai antisipasi bilamana mereka yang kita ajak bicara tidak mengetahui kalau membawa virus.
Di samping itu itu kita semua sebisa mungkin tetap berdiam diri dan tinggal di rumah dulu (stay at home). Bekerja, belajar dan melakukan aktivitas keseharian dari rumah (Work and Study from Home) dan jangan pergi kemanapun bila tidak memiliki kepentingan yang benar-benar darurat ini penting demi memutus rantai persebaran corona atau Covid-19. Dan paling penting rasah ngeyel. (*)
*Penulis adalah Pengamat Sosial-Agama, Tinggal di Sleman