Narapidana Tidak Bebas, Tetapi Diawasi BAPAS

Oleh : Purwanto Agung Sulistyo, S.E,M.H

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia merasa resah dengan dikeluarkannya sejumlah narapidana di seluruh Lembaga Pemasyarakatan(Lapas) dan Rumah Tahanan Negara(Rutan) hingga sampai saat ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah mengeluarkan narapidana kurang lebih 37 ribuan demi mencegah penularan akibat pandemi corona (covid-19) di area Lapas dan Rutan sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia(Permenkumham RI)  Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020 dengan alasan kemanusiaan. Namun Publik hanya mengetahui bahwa sekarang banyak narapidana yang bebas termasuk narapidana dalam tindak pidana khusus seperti korupsi dan terorisme ikut bebas. Padahal bila dicermati dan publik membaca di poin ketiga dari Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Pemberian Asimilasi dan re-integrasi di tengah penyebaran pandemi corona sudah cukup jelas dikatakan bahwa pemberian asimilasi dan re-integrasi diberikan kepada narapidana dan anak yang tidak terkait pidananya dengan PP Nomor 99 Tahun 2012. Dengan kata lain, narapidana dengan kasus Korupsi dan terorisme tidak termasuk diantara 37 ribuan narapidana yang mendapatkan program asimilasi maupun re-integrasi namun hanya yang terkait kasus pidana umum saja.

Keputusan membebaskan narapidana menjadi salah satu hal yang sangat menarik perhatian publik. Betapa tidak, banyak bermunculan di media massa yang menginformasikan bahwa mantan narapidana yang sudah mendapatkan program asimilasi dan re-integrasi malah mengulangi tindak pidananya di tengah masyarakat sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Terkait pembebasan narapidana di tengah pandemi corona dengan program asimilasi dan re-integrasi memang menjadi salah satu upaya pencegahan yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Ham RI. Hal tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang baru di dalam sistem pemidanaan Indonesia. Istilah pemberian program asimilasi dan re-integrasi telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan hingga saat ini menjadi populer di hadapan publik. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, di sebutkan bahwa program asimilasi dan re-integrasi merupakan hak bagi narapidana yang sudah memenuhi syarat subtantif dan administratif. Sebagai contoh pihak Lapas dan Rutan akan memberikan program re-integrasi (Pembebasan Bersyarat) kepada narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidananya, berkelakuan baik saat proses pembinaan di dalam Lapas atau Rutan, memiliki penjamin yang siap bertanggungjawab dan pemerintah setempat yang mau ikut andil dalam mendukung perubahan perilaku narapidana. Hal tersebut nantinya akan dituangkan dalam hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), baru narapidana dapat diusulkan untuk program re-integrasi sedangkan untuk program asimilasi yang telah menjalani 1/2 masa pidananya.

Setelah memperoleh program asimilasi dan re-integrasi narapidana akan keluar dari Lapas dan rutan namun bukan berarti mereka bebas murni karena narapidana masih dalam pengawasan negara yang dilakukan oleh Petugas Pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas walaupun pengawasan dan pembimbingan tersebut dilaksanakan melalui daring atau video call  selama pandemi corona dengan narapidana beserta keluarga penjaminnya. Hal tersebut sebagai salah satu peran Pembimbing Kemasyarakatan yaitu memberikan edukasi, menyampaikan aturan-aturan kedisiplinan yang tidak boleh dilanggar selama menjalankan program asimilasi dan integrasi. Petugas Pembimbing Kemasyarakatan akan memastikan bahwa narapidana yang bebas akan terus dipantau bahwa mereka berada dirumah dan tidak berkeliaran. Pembimbingan dan pengawasan bagi narapidana yang dilakukan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan instruksi Menteri Hukum dan Ham RI pada poin keempat menyatakan Pembimbing Kemasyarakatan melaksanakan pengawasan dan pembimbingan secara daring. Pihak Bapas juga telah menggandeng aparat penegak hukum dan masyarakat seperti pihak kepolisian dan TNI, Kejaksaan, Pemerintah Daerah untuk membantu dalam pengawasan bagi narapidana yang bebas nantinya. Narapidana yang bebas juga sudah dilakukan asesmen resiko dan kebutuhan yang dilaksanakan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan agar mengetahui narapidana tersebut akan melakukan tindak pidana kembali atau tidak. Jadi pembebasan terhadap 37 ribuan narapidana tidak serta merta dikeluarkan tanpa dilakukan pertimbangan yang matang. Apabila narapidana tersebut melakukan tindak pidana selama masa pandemi corona maka hukumannya akan jauh lebih berat dan akan dimasukan ke dalam sel pengasingan (stract cell) serta haknya sebagai warga binaan tidak akan diberikan seperti pemberian remisi. Narapidana yang melakukan kejahatan, maka otomatis program asimilasi dan re-integrasinya akan dicabut serta akan kembali ke dalam Lapas atau Rutan untuk menjalani masa hukum kesalahan yang lama dan ditambah dengan kesalahan yang baru. Pembebasan narapidana bukanlah akhir dari tanggung jawab negara namun awal tugas baru yang menanti dan petugas Pembimbing Kemasyarakatan berharap narapidana yang bebas dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.[*]

 

*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda yang bertugas di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com