Oleh: Dicke Muhdi Gailea*
Situasi dunia dalam beberapa bulan terakhir mengalami ancaman yang begitu serius, kali ini ancaman tersebut tidak dalam ranah pemerintahan maupun politik semata tetapi lebih jauh lagi adalah tentang kemanusiaan dan keselamatan warga di suatu negara yang menjadi tanggung jawab daripada negara itu sendiri. Tanggung jawab negara tersebut meliputi perlindungan hak serta kewajiban warga negara dan urusan kemanusiaan, oleh karena itu kemudian menjadi kesepakatan internasional yang termaktub dalam ketentuan Universal Declaration of Human Right (“selanjutnya disebut dengan UDHR”).
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik) telah menjamin hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum yang kemudian dalam konstitusinya menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia serta berlaku ketentuan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.
Covid-19 menjadi pandemik global sejak Desember 2019 yang lalu, dalam situasi maraknya penyebaran virus ini dengan sendirinya maka organisasi yang bernama negara sekaligus diuji keberpihakannya terhadap urusan kemanusiaan dan keselamatan setiap warga negaranya. Pola penanganan sebaik apapun tidak terlepas dari instrumen hukum suatu negara yang kemudian memberikan legitimasi kepada tenaga medis juncto aparat negara untuk melaksanakan fungsinya masing-masing.
Pasal 3 huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan bahwa penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan. Namun dalam proses pelaksanaan kegiatan di lapangan terdapat berbagai kebijakan Pemerintah maupun pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (“selanjutnya disebut dengan AUPB”) dari kacamata Hukum Administrasi Negara.
Aturan tentang pembatasan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (“selanjutnya disebut dengan PSBB”), sampai detik ini kota Ternate bukan termasuk kota yang menyelenggarakan PSBB sebagaimana Jawa Barat, Jakarta dsb, sehingga segala ketentuan beserta sanksi hukum di dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak bisa dipaksakan pemberlakuannya khususnya di Kota Ternate. Substansi tersebut dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) yang mengatakan bahwa pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, apabila menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyetujui usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); maka kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, demikian ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB.
Himbauan tentang memakai masker dan kemudian menghindari kerumunan sebagaimana yang di gaungkan oleh pihak Pemerintah kota Ternate nampaknya mengalami cacat hukum saat proses pelaksanaannya. Istilah Social Distancing maupun Physical Distancing-pun tidak lebih dari sekedar himbauan yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana produk hukum lainnya, yang terjadi di kota Ternate saat ini adalah dimana masyarakat di wajibkan menggunakan masker ketika beraktifitas diluar rumah dengan payung hukum yang tidak komprehensif beserta pemberlakuan sanksi yang tida memiliki kepastian hukumnya. Kemudian pemerintah kota Ternate tidak melakukan pembatasan sosial dan atau memberikan sanksi yang tegas di tempat-tempat yang ramai pengunjung seperti pasar tradisional dan pusat perbelanjaan lainnya. Suatu kebijakan yang bersifat campur sari (Jimly Asshiddiqie) dan inkonstitusional. Dalam lapangan kajian Hukum Administrasi Negara sejenis dengan apa yang disebut sebagai Pseudo-Wetgeving (perundang-undangan semu).
Senada dengan Refly Harun, penulis memandang bahwa disamping ketentuan secara medis, instrumen hukum menjadi suatu faktor yang sangat penting ditengah terjadinya pandemik ini karena legitimasi dan pergerakan daripada pemerintah maupun pemerintah daerah harus berdasarkan konstitusi, setiap aturan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang adalah hukum, namun yang perlu dipahami bahwa makna hukum dan undang-undang ialah berbeda. Hukum belum tentu bersifat memaksa karena tergantung pada proses kodifikasinya, sementara suatu undang-undang sudah bisa dipastikan bersifat memaksa karena telah melalui proses kodifikatif oleh negara. Pemerintah kota Ternate cacat secara prosedural dalam merumuskan public policy khususnya terkait dengan situasi hari ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 (A) Peraturan Walikota Ternate Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengatakan bahwa Walikota Ternate sebagai Pengarah tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Darurat Covid-19 di Ternate. Walaupun di ketuai oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daera Kota Ternate, walikota sebagai pemimpin yang dipilih berdasarkan demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat wajib setidaknya memberi public address yang berfungsi membantu kinerja dari pada tim gugus ini agar mengurangi kepanikan serta kekhawatiran yang bersarang di benak masyarakat, sejauh ini sesuai informasi yang berkembang justru Walikota Ternate terlihat pasif dan tidak menggunakan kekuasaannya untuk mendatangkan manfaat bagi masyarakat, dengan begitu maka yang patut ditangkap dan dipenjara ialah Walikota Ternate oleh sebab telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi, prinsip-prinsip dasar hak asasi, serta perintah konstitusi sebagaimana yang telah diamanatkan padanya. (*)
*Penulis adalah Direktur Pendidikan & Pelatihan Hukum BAKORNAS LKBHMI PB HMI