YOGYAKARTA – Resistensi antimikroba (AMR) menjadi persoalan kesehatan yang mengintai masyarakat. Kasus resistensi terhadap antibiotik ini banyak terjadi akibat pemberian antibiotik yang tidak tepat, berlebihan atau tidak rasional.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Kementerian Kesehatan Indonesia, Kirby Institute di UNSW Sydney, London School of Hygiene & Tropical Medicine, University College London, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney menunjukkan masih banyak terjadi praktek pemberian antibiotika tanpa resep. Dari dua per tiga kunjungan ke apotek maupun toko obat swasta diketahui antibiotika diberikan tanpa resep dokter.
Guru Besar FKKMK UGM, Prof. Tri Wibawa, mengatakan dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap praktik penjualan antibiotik di apotek dan toko obat swasta. Sebab, penggunaan antibiotik yang tidak bijak menjadi salah satu faktor munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
“Penting melakukan kontrol terhadap peredaran antibiotik di masyarakat untuk menghindarkan ancaman resistensi bakteri terhadap antibiotik,” tuturnya.
Sementara Prof Virginia Wiseman dari Kirby Institute selaku pemimpin penelitian ini memaparkan melalui penelitian dalam kemitraan dengan Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) yang berada dibawah Kementerian Kesehatan Indonesia timnya melakukan penelitian dengan menggunakan mystery client untuk mengunjungi apotek dan toko obat swasta di Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Tabalong di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada saat kunjungan, mystery client akan memperagakan gejala-gejala penyakit dan mencatat apa saja yang terjadi di dalam interaksi.
Secara keseluruhan, tim melakukan 495 kunjungan ke apotek dan toko obat swasta. Dari 70% kunjungan, terjadi praktik pemberian antibiotik tanpa resep. Padahal pemberian antibiotik tanpa resep merupakan hal yang dilarang dalam peraturan karena termasuk sebagai obat keras.
“Faktanya, pada lebih dari dua per tiga kunjungan ke apotek dan toko obat swasta di Indonesia diperoleh satu jenis antibiotik tanpa resep dan seringkali tanpa saran yang memadai dari tenaga kesehatan. Hal ini sangat memprihatinkan, bahkan ada beberapa antibiotik lini kedua yang seharusnya hanya boleh diresepkan dalam keadaan yang sangat khusus,” urainya.
Tekanan Laba, Regulasi, dan Perubahan Budaya
Hasil penelitian ini baru saja dipublikasikan oleh BMJ Global Health. dr. Luh Putu Lila Wulandari, research fellow di Kirby Institute yang juga penulis utama pada paper ini, mengatakan bahwa komponen kualitatif dari penelitian ini membantu menjelaskan beberapa alasan mengapa apotek dan toko obat swasta menjual antibiotik tanpa resep. Salah satu alasan yang muncul adalah adanya tekanan dari pelanggan.
“Banyak yang merasa ditekan oleh pelanggan,” ujaranya.
Kondisi tersebut dikatakan Luh Putu menunjukkan adanya kompleksitas dari persoalan praktik pemberian antibiotik tanpa resep. Meskipun ada motivasi untuk mencari keuntungan, tetapi pemberian obat-obatan tanpa resep ini dianggap sebagai norma. Dengan begitu kedepan perlu adanya perubahan peraturan dan budaya seputar pemberian antibiotik.
Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance (PINTAR) dan didukung oleh hibah dari Indo-Pacific Centre for Health Security (DFAT) dibawah Australian Government’s Health Security Initiative. Dalam penelitian ini tim PINTAR bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan penggunaan antibiotik di sektor swasta.
Prof. Probandari dari Universitas Sebelas Maret, salah satu peneliti utama PINTAR mengatakan bahwa di Indonesia ada cukup banyak tekanan terhadap sistem kesehatan. Situasi menjadi brtambah rumit karena pandemi COVID-19 saat ini. Oleh sebab itu pemberian antibiotik yang selama ini tidak diatur dengan baik perlu segera ditangani.
“Dalam banyak hal COVID-19 telah memperberat masalah penjualan antibiotik secara bebas. Semakin banyak orang yang sakit atau takut menjadi sakit, serta mencoba mencari saran medis dan obat-obatan seperti antibiotik di mana pun,” jelasnya.
Menurutnya perlu ada pendekatan dari berbagai aspek menghadapai persoalan pemberian antibiotik tanpa resep ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan mulai dari kebutuhan untuk memaksimalkan keuntungan oleh apotek dan toko obat swasta, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lain.
“Kabar baiknya adalah bahwa Kementerian Kesehatan Indonesia menjadikan hal ini sebagai prioritas dan mengalokasikan sumber daya untuk menemukan solusi,” tuturnya. (pr/kt1)
Redaktur: Faisal