YOGYAKARTA- ahasiswa UGM mengembangkan tempat sampah ramah lingkungan yang dapat mengolah limbah masker medis menjadi bahan organik. Tempat sampah ini dibuat dengan menambahkan agen biodegradasi berupa mikroba Pseudomonas aeruginosa.
“Proses pengolahan sampah masker
medis ini menggunakan cara yang paling ramah lingkungan karena tidak meninggalkan bahan yang
sulit terurai di lingkungan,” terang Ketua tim pengembang, Muhammad Ardillah Rusydan, Senin (6/9).
Ardillah mengatakan limbah masker akan diurai oleh mikroba dalam waktu sekitar 10-14 hari. Meski proses degradasi memakan waktu yang lama, tetapi dengan pengembangan alat melalui penambahan sejumlah proses dapat mempercepat proses degradasi.
“Proses pemanasan dan penambahan
nutrient serta penambahan jenis mikroba akan dapat mempercepat proses degradasi dari sampah
masker medis,”terang mahasiswa Fakultas Biologi ini.
Tempat sampah yang dikembangkan Ardillah bersama Gizela Aulia Agustin (Biologi), Isthafaina Dea Fairuz (Gizi Kesehatan), dan Asyifa Rizki Daffa (Teknik Nuklir 2020) lahir dari Program
Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) UGM dibawah bimbingan Dr. Endah Retnaningrum, S.Si., M.Eng. Tempat sampah dirancang dengan ukuran 29x14x100 cm berkapasitas 28,5 L.
Tempat sampah dilengkapi dengan shredder yang berada pada bagian atas yang berfungsi untuk
mencacah masker medis menjadi cacahan kecil. Lalu, dibagian bawah shredder terdapat sensor ultrasonik yang telah disambungkan dengan mikrokontroler dan sprayer. Dengan begitu saat cacahan masker jatuh melewati sensor tersebut maka secara otomatis sprayer yang telah terisi
dengan larutan bakteri akan menyemprotkan larutan tersebut ke arah cacahan masker medis. Kemudian
dibagian dasar tempat sampah didesain sedmikian rupa agar cacahan masker yang telah terdegradasi oleh mikroba akan masuk ke tabung penampungan.
Sementara Asyifa menambahkan ide awal pembuatan tempat sampah tersebut berawal dari keprihatinan mereka akan banyaknya limbah masker medis. Sejak pandemi Covid-19 penggunaan masker medis terusbmeningkat. Dari penelitian yang dilakukan Sangkham, 2020 menunjukkan adanya peningkatan penggunaan masker medis yang
signifikan, yaitu 2.228.170.832 buah per 31 Juli 2020. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang
sebesar 159.214.791 buah sampah masker. Sementara peningkatan penggunaan masker medis dapat menyebabkan dampak buruk, salah satunya terbentuk mikroplastik yang mencemari lingkungan.
Kondisi teresebut kian diperparah dengan belum adanya kesadaran masyarakat untuk membuang masker medis sesuai pedoman yang benar di skala rumah tangga. Hal itu menjadikan
sampah masker medis tidak tertangani dengan benar.
Ia menyampaikan penanganan yang selama ini dilakukan masih belum terlalu efektif karena masih menghasilkan polusi dan sulit untuk dijangkau oleh masyarakat luas. Bahkan berdasarkan Life Cycle Assesment (LCa)
disebutkan bahwa proses insinerasi menyebabkan banyak kerusakan lingkungan. Selain itu dalam prosesnya juga memerlukan penggunaan air yang banyak dan buangan dari insinerator menghasilkan partikel yang berbahaya bagi pernapasan makhluk hidup.
“Akses terbatas juga membuat
alat ini hanya dapat mengolah sepersekian dari banyaknya masker medis yang terbuang di lingkungan
ataupun masker medis yang telah digunakan,” tuturnya.
Karenanya diperlukan sebuah terobosan serta inovasi alat pengolahan sampah medis yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas dengan pengelolaan yang hanya menghasilkan sedikit polusi sehingga ramah lingkungan. Oleh sebab itu ia dan tim memanfaatkan miikroorganisme dengan kemampuan mendegradasi bahan anorganik dan mengubahnya menjadi bahan organik.
“Harapannya alat yang kami kembangkan bisa menjadi solusi alternatif dalam mengurai persoalan limbah masker medis di masyarakat dan bersifat ramah lingkungan,” pungkasnya.(pr/kt1)
Redaktur:Faisal