Oleh: M. Faisal*
I always like walking in the rain, so no one can see me crying.
Kutipan quotes Charlie Chaplin sepertinya memang bukan sekadar ungkapan. Tentu saja, karena ia adalah bukan sekadar pelawak kenamaan dunia era 70an. Ia juga seorang sutradara film bisu kala jayanya. Artinya dia adalah manusia cerdas. Segalibnya orang yang dikarunia keistimewaan ia pasti menggunakan segenap panca inderanya dalam bekerja, termasuk dalam berkata-kata.
Menjadi komedian atau pelawak itu tak gampang. Kelucuan yang bisa menghibur publik membutuhkan ide dan gagasan besar. Itu memerlukan keseriusan. Kalau tidak lucu maka kariernya tak panjang. Itu pasti.
Artinya seorang komedianpun bisa menangis, atau bahkan sering, sesering hujan di bulan Februari ini. Tak hanya Charlie, semua orang yang berjalan atau berlari sambil menagis saat hujan turun tak adanya yang menyangka kalau ia menangis. Mungkin agak sama seperti siswa sekolah menguap di dalam masker saat sedang belajar tatap muka di tengah pandemi.
Terkadang orang tak mau kesedihan atau kebahagiaannya diketahui orang lain.
Kadang, kita terpaksa mempercayai sesuatu yang sebenarnya biasa saja menjadi teramat horor. Misalnya, sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu bahaya, dibuat seperti benar-benar mara bahaya mematikan. Bisa jadi justru yang pada akhirnya menyebabkan kematian, (selain takdir) justru karena stress dan ketakutan berlebihan, bukan yang dianggapnya teramat berbahaya.
Gus Baha (KH. Bahauddin Nur Salim), pernah mengatakan Islam mengajarkan kita untuk ingat mati. Tapi ingat mati itu justru membuat kita semangat hidup, tidak lantas loyo dan tak bersemangat.
Kita ini hidup di bumi itu dikepung sekian banyak penyebab kematian. Bukan hanya satu dua sebab saja. Ini tidak bicara takdir, melainkan bagaimana orang menghadapi kematian dengan semangat, berpikir positif.
Persoalannya realitas saat ini adalah ketika orang banyak yang loyo dalam artian sebenarnya saat diterpa pandemi. Bagaimana tidak loyo? Mobilitas dibatasi, yang artinya bekerjapun dibatasi. Bahkan banyak perusahaan merumahkan dan mem-PHK-kan pekerjanya.
Bagaimana tidak resah dan gelisah jika tak ada kepastian kapan pandemi akan berakhir?
Sebenarnya bukan pandeminya, tapi kapan kegiatan ekonomi bisa berlangsung lancar lagi dan tak lagi memikirkan bagaimana besok agar dapur tetap ngepul.
Barangkali memang kita perlu banyak berjalan di tengah hujan, agar tak seorangpun mengira kita sedang menangis. Biar orang yang melihat, seolah kita bersemangat karena menerjang hujan. (*)
*Penulis adalah penggiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (Formuliyo)