Konflik merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sering kali dipicu oleh kepentingan kelompok tertentu. Konflik dapat timbul akibat pertentangan antara dua kelompok atau lebih di suatu wilayah, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik, karena perbedaan kepentingan di antara mereka. Wilayah Timur Tengah, jika diamati, cenderung menjadi arena potensial bagi konflik. Hampir semua daerah di Timur Tengah memiliki isu-isu yang memicu konflik, bahkan konflik berskala perang antara negara-negara yang terlibat.
Konflik Israel-Palestina menjadi sorotan utama di seluruh dunia. Serangan yang dilakukan oleh Israel ke Palestina telah menimbulkan banyak korban jiwa. Respons simpati tidak hanya datang dari komunitas Muslim, tetapi juga dari masyarakat global lainnya. Berbagai bentuk solidaritas dan bantuan kemanusiaan, seperti tim medis, obat-obatan, dan pengiriman makanan, telah diberikan untuk membantu penduduk Palestina di sana. Sebagian besar dunia melihat konflik ini sebagai pertikaian agama, namun sesungguhnya akar masalahnya adalah perebutan wilayah di Palestina. Konflik ini berakar dari keinginan bangsa Yahudi untuk mendirikan National Home di tanah Palestina yang mereka pandang sebagai tanah yang dijanjikan. Mereka percaya bahwa Yerusalem harus menjadi ibu kota bangsa Yahudi dan mengembalikan hak-hak bangsa Yahudi yang selama ini dianggap tertindas.
Kekuasaan Turki Utsmani atas Palestina telah berlangsung cukup lama, namun wilayah Palestina direbut oleh Inggris pada tahun 1917 sebagai akibat dari kekalahan Turki Utsmani dalam perang. Hal ini justru menguntungkan bagi kaum Yahudi yang menginginkan Palestina sebagai National Home yang akan menjadi Israel. Bukti konkretnya adalah Deklarasi Balfour yang secara resmi diumumkan di Inggris pada tanggal 2 November 1917. Deklarasi Balfour merupakan janji kepada Yahudi untuk mendirikan tanah air bagi mereka di Palestina. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa konflik antara Israel dan Palestina bukanlah konflik agama, melainkan pertikaian atas wilayah antara dua negara.
Perselisihan antara kedua negara ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, bahkan sebelum pendirian negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948. Konflik antara Israel dan Palestina telah menimbulkan banyak korban di Palestina, termasuk ribuan warga, termasuk anak-anak, perempuan, dan bahkan relawan. Perdamaian belum pernah terwujud di antara kedua negara ini; rangkaian perselisihan bersenjata telah berlangsung sejak berdirinya negara Israel, yang diawali dengan kesepakatan gencatan senjata, namun kemudian sering kali diabaikan, yang mengakibatkan dimulainya konflik bersenjata yang baru.
Palestina telah meminta Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Israel di wilayah Tepi Barat dan Gaza. Upaya Palestina pada tahun 2009 untuk meminta penyelidikan ICC terhadap dugaan kejahatan perang Israel dalam operasi Cast Lead di Den Haag akhirnya tidak berhasil setelah menunggu 3 tahun karena Palestina belum diakui sebagai negara. Pada tahun 2012, 193 negara anggota Majelis Umum PBB secara de facto mengakui Palestina sebagai negara dengan status “non-member state” daripada “entity,” yang memungkinkan Palestina untuk bergabung dengan ICC. Dengan keanggotaan Palestina di ICC pada bulan April, mereka berharap ICC dapat menyelidiki dan mengadili individu Israel yang diduga terlibat dalam kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida. Presiden Palestina menandatangani Statuta Roma sebagai tanda bergabungnya Palestina ke ICC.
Selama periode 7 Oktober-2 November 2023, lebih dari 9.100 warga Palestina kehilangan nyawa akibat konflik antara Israel dan kelompok militan Hamas. Mayoritas korban Palestina terjadi di Jalur Gaza, dengan 9.061 kematian dan 22.911 orang terluka. Di wilayah Tepi Barat, terdapat 132 kematian dan 2.281 orang terluka. Pada periode yang sama, total jumlah korban jiwa dari pihak Israel sekitar 1.419 orang dan 5.415 orang terluka. Data ini diperoleh dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) melalui Kementerian Kesehatan Gaza dan keterangan resmi pemerintah Israel. Israel berpendapat bahwa mereka mengarahkan serangan mereka kepada kelompok militan Hamas dan bukan kepada warga sipil, sementara mereka menuduh Hamas menggunakan penduduk sebagai perisai manusia
Secara umum, dalam setiap konflik atau perang, perlindungan terhadap pihak-pihak yang rentan sangat penting, terutama warga sipil, khususnya wanita dan anak-anak. Semua pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tanggung jawab untuk selalu menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan dan untuk tidak mengalami penyiksaan. Namun, laporan media mengindikasikan bahwa Israel menggunakan amunisi berisi flechette, yaitu proyektil berbentuk anak panah yang terbuat dari logam kecil, yang dirancang untuk menyasar lebih banyak manusia dalam area yang lebih luas jika dibandingkan dengan senjata konvensional. Israel dituduh menggunaan senjata ini di wilayah berpenduduk sipil. Penggunaan senjata semacam ini di wilayah warga sipil dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Serangan pasukan Israel kepada warga Palestina makin agresif. Target serangan Israel tak lagi menyasar markas-markas Hamas, tetapi mulai menyasar fasilitas publik di Jalur Gaza. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan setidaknya 200 serangan Israel menargetkan fasilitas kesehatan di Jalur Gaza, termasuk rumah sakit, sejak 7 Oktober lalu. Selain rumah sakit israel juga menyerang kamp pengungsi Palestina terbesar di Jalur Gaza, kamp Jabalia. Kamp Jabalia menampung sekitar 16 ribu warga Palestina sejak 1948 ketika negara Arab berperang dengan Israel. Kondisi kamp pengungsian terbesar ini semakin mengkhawatirkan sejak Israel menggempur habis-habisan Gaza. Ini yang menjadi alasan pembenar jika Israel sesuguhnya tengah melakukan genosida di Gaza melakukan pembersihan etnis untuk menguasai wilayah tersebut.
(*)
*Anggun Intan Nur Amalia adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.