Formulasi Pelaksanaan Pidana Mati dalam KUHP Baru

Hingga saat ini, diskusi tentang pidana mati masih menjadi topik menarik, baik di Indonesia maupun dalam kancah masyarakat internasional. Penerapan pidana mati selalu berdampak pada isu Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga sering kali memicu perdebatan dan kontroversi. Sebagian kalangan yang menentang berpendapat bahwa pidana mati tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi yang secara tegas menjamin HAM. Perdebatan seputar pidana mati sep lijnya tidak pernah usai, karena selalu menarik pandangan pro dan kontra, yang didasari oleh berbagai alasan. Isu ini terus menjadi perhatian, baik dari segi filosofis, sosiologis, maupun hukum.

Pidana mati merupakan bentuk pidana yang paling serius dibandingkan dengan sanksi pidana lainnya, karena melibatkan pengambilan nyawa manusia. Penerapan pidana mati dianggap sebagai metode yang sangat kejam dan diharapkan dapat menciptakan efek jera terhadap para pelaku kejahatan. Namun, pidana mati dianggap melanggar hak hidup yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Secara nasional, hak untuk hidup diatur dalam Konstitusi Indonesia, yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

HAM mencakup hak untuk hidup, hak untuk tidak mengalami perlakuan yang merendahkan martabat, hak kebebasan pribadi, pemikiran, dan keyakinan, serta hak beragama, dan hak untuk tidak dijadikan budak. Penerapan pidana mati masih menjadi isu kontroversial dalam masyarakat karena melibatkan isu hak asasi manusia. Intinya, prinsip-prinsip kebijakan, peraturan, dan pendekatan pengadilan dalam menjaga atau menghapus pidana mati dipengaruhi oleh pandangan dan keyakinan masyarakat di berbagai wilayah tentang keberlanjutan atau penghapusan pidana mati untuk kasus-kasus tertentu dalam sistem hukum pidana mereka. Pandangan dan keyakinan masyarakat ini tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor pribadi yang dimiliki oleh individu-individu dalam masyarakat tersebut, termasuk keyakinan agama, ideologi, kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan dari ancaman kejahatan, serta pemahaman tentang HAM. Ketika berbicara tentang reformasi hukum pidana di Indonesia, tidak mungkin menghindari pembahasan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Upaya untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwariskan dari masa kolonial Belanda dengan KUHP Nasional menjadi fokus utama dalam reformasi hukum pidana, yang juga berhubungan dengan isu hak asasi manusia.

Pengaturan pidana mati di Indonesia menciptakan ketegangan antara dua prinsip: tujuan negara di satu sisi dan kewajiban negara di sisi lainnya. Dalam UUD NRI 1945, Pasal 28A, 28H, dan 28I dengan tegas menegaskan kewajiban Negara untuk melindungi hak setiap individu atau warga negara untuk hidup. Ketika pidana mati diterapkan terhadap pelaku kejahatan, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi. Prinsip-prinsip kemanusiaan ini juga dinyatakan secara lebih abstrak dalam Pancasila, khususnya dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, ini juga menciptakan konflik dengan tujuan negara, yaitu melindungi seluruh rakyat Indonesia. Pidana mati berada dalam posisi yang mempertimbangkan keadilan bagi pelaku dan korban, serta nilai-nilai moral dan etika yang terkait dengan penerapannya.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sistem hukum yang berasal dari masa kolonial Belanda yang mengizinkan penggunaan pidana mati diadopsi sebagai alat untuk menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan. Bahkan setelah pembentukan perundang-undangan pasca-kemerdekaan, pidana mati tetap dianggap sebagai salah satu alat pemidanaan yang digunakan. Bahkan setelah periode reformasi dimulai, semakin banyak regulasi yang mengatur jenis kejahatan yang dapat dikenai pidana mati. Prinsip pidana mati tidak hanya terbatas pada KUHP, tetapi juga tersebar dalam beberapa undang-undang lain di luar KUHP.

Sejak tahun 1958, upaya rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional telah dimulai melalui inisiatif seperti berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Pencapaian awal terjadi dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang tahun 1963, yang membahas Rancangan KUHP (RKUHP) serta Rancangan KUHAP, KUH Perdata, dan KUH Dagang. Inilah awal sejarah pembaharuan KUHP di Indonesia, yang kemudian dirumuskan oleh pemerintah pada tahun 1964. Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 tahun 2023) merupakan impian lama dan mencerminkan budaya Indonesia, dengan misi dekolonisasi, reformasi, demokrasi konsolidasi, dan harmonisasi hukum dengan budaya masyarakat. Selain itu, KUHP baru juga berupaya mengakomodasi tindakan pidana yang sebelumnya belum diatur (kekosongan hukum), dan mengalami pergeseran pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana khusus.

Berdasarkan KUHP baru, pidana mati akan mulai berlaku tiga tahun setelah tanggal diundangkan, yaitu pada tahun 2026. Pidana mati diatur sebagai alternatif sebagai langkah terakhir untuk mencegah terjadinya tindak pidana dan melindungi masyarakat. Poin pentingnya adalah bahwa pidana mati tidak termasuk dalam bagian utama dari sistem pidana. Pidana mati diatur dalam pasal yang berdiri sendiri untuk menegaskan bahwa jenis pidana ini memang bersifat khusus dan merupakan tindakan terakhir dalam upaya perlindungan masyarakat.

Pidana mati merupakan pidana yang paling berat dan harus selalu diatur sebagai alternatif terhadap pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dengan batas waktu maksimal 20 tahun. Pelaksanaan pidana mati hanya dapat dilakukan setelah Presiden menolak permohonan grasi dari terpidana. Selanjutnya, hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti penyesalan terdakwa dan potensi perbaikan perilaku, atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Pidana mati dengan masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Batas waktu masa percobaan selama 10 tahun dimulai menghitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan perilaku yang positif, pidana mati dapat diganti menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, yang memerlukan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Periode pidana penjara seumur hidup dimulai pada saat Keputusan Presiden dikeluarkan. Namun, jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan perubahan positif dalam perilakunya dan tidak ada harapan untuk memperbaiki diri, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Selain itu, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan dalam 10 tahun sejak penolakan grasi, bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden.

Pidana mati tidak termasuk dalam jenis pidana pokok dan diatur dalam pasal tersendiri untuk menegaskan bahwa pidana ini adalah tindakan khusus sebagai langkah terakhir dalam melindungi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan selalu menjadi alternatif terhadap pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dengan durasi maksimal 20 tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, dengan harapan bahwa terpidana dapat memperbaiki perilakunya selama periode masa percobaan. Tujuannya adalah agar pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan bisa digantikan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dengan durasi maksimal 20 tahun.

Faktanya, dalam pengaturan tentang pidana mati dalam sebuah negara, setidaknya ada tiga aspek yang saling berhubungan yang dibahas. Pertama, mencakup konstitusi atau undang-undang tertinggi yang dianut oleh negara tersebut dan bentuk pemerintahan yang diterapkan. Kedua, melibatkan dinamika sosial, politik, dan hukum internasional yang mempengaruhi cara berpikir serta hubungan sosial dalam masyarakat. Ketiga, berkaitan dengan relevansi nilai-nilai tradisional dalam konteks perkembangan zaman yang semakin maju. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan pelaksanaan pidana mati tidak hanya berkaitan dengan keyakinan, sudut pandang, atau pengalaman individu, tetapi juga dengan relevansinya dalam konteks di mana pidana mati diterapkan. Perdebatan tentang pro dan kontra terkait dengan keberlanjutan pidana mati bukanlah permasalahan baru, karena telah menjadi topik perdebatan yang berlangsung cukup lama. Dalam ranah pemikiran ilmiah, masalah ini sering dibahas dalam konteks teori tentang penggunaan dan efektivitas pidana atau sanksi pidana.

Negara yang masih menjalankan pidana mati memiliki beberapa argumen yang melandasi pendekatannya. Pertama, pidana mati dianggap sebagai bentuk penegakan kepastian hukum, di mana ancaman pidana mati diharapkan akan menciptakan rasa takut di kalangan individu yang mungkin cenderung terlibat dalam perilaku kriminal, sehingga dapat mencegah terjadinya tindakan kejahatan. Dengan demikian, diharapkan angka kriminalitas akan menurun, yang pada gilirannya akan memberikan perlindungan lebih besar terhadap hak hidup individu. Kedua, pidana mati tidak diterapkan secara sembarangan, tetapi hanya diberikan kepada pelaku kejahatan serius (extraordinary crime) yang dianggap berpotensi sangat berbahaya, dan oleh karena itu dianggap perlu dihukum mati untuk menjadikannya tidak berbahaya lagi. Ketiga, pidana mati dianggap sebagai tindakan terakhir dalam sistem peradilan, yang digunakan sebagai bentuk akhir dari proses keadilan.

Negara yang hingga saat ini telah menghapus pidana mati juga memiliki beberapa alasan yang mendukung kebijakan tersebut. Pertama, pidana mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Hak ini dianggap sebagai hak yang sangat fundamental dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dibatasi dalam situasi apapun, termasuk dalam keadaan darurat, perang, atau ketika seseorang menjadi narapidana. Kedua, dari sudut pandang sosiologis, tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa pidana mati dapat mengurangi tingkat kejahatan tertentu. Hal ini berarti bahwa pidana mati tidak terbukti menjadi faktor yang efektif dalam menciptakan efek jera, jika dibandingkan dengan jenis pidana lainnya.

(*)

*Anggun Intan Nur Amalia adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

56 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com