Kejahatan Genosida dalam Hukum Pidana Internasional

Oleh: Kus Rizkianto*

Konflik Israel dan Palestina sudah berlangsung begitu lama. Tepatnya setelah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia I memberikan wilayah kekuasaan pada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour pada 1917. Perjanjian tersebut, seolah melegalisasi bangsa Yahudi yang menganggap bahwa kawasan Palestina menjadi tanah airnya.  Di sisi lain, Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina. Dimana hal tersebut sesungguhnya bertentangan dengan keinginan masyarakat Palestina.

Konflik yang fluktuatif ini seperti menemukan puncaknya setelah pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu, Harakah Muqawamah al-Islamiyah atau Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) yang memerintah Jalur Gaza melancarkan serangan dadakan dan masif ke wilayah selatan Israel. Hamas kemudian berhasil meluncurkan sekitar 3.000-an rudal dalam waktu 20 menit, dan melakukan infiltrasi ke wilayah Israel. Israel pun membalas dengan membombardir infrastruktur vital di Gaza, bahkan rumah-rumah warga sipil, serta Rumah Sakit dari semua penjuru baik darat, laut, dan udara. Perang akan berakhir sampai Israel memenangi pertempuran guna menjaga legitimasi pemerintahan ekstrem kanan pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Hingga saat ini perang masih berlangsung dan serangan Israel telah menawaskan korban jiwa kurang lebih 13.000 orang yang ironisnya justru merupakan warga sipil anak-anak dan perempuan.  Lalu, apakah serangan terebut dapat dikategorikan sebagai Genosida?

Merujuk pada Konvensi Genosida Tahun 1948 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama, dengan cara : membunuh anggota kelompok, perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan genosida dalam hukum pidana internasional merupakan kejahatan luar biasa dan sudah menjadi tindakan yang dilarang dalam Konvensi Genosida 1948, Statuta International Criminal Tribunals for the Former Yugoslavia (ICTY), statuta International Criminal Tribunals for Rwanda (ICTR) serta Statuta Roma 1998 Tentang International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) yang menyatakan bahwa kejahatan genosida sebagai the most serious crimes of concern of international community as a whole. Ada 4 (empat) kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Merujuk pada pendapat J.G Starke, ada 3 (tiga) metode penyelesaian kejahatan internasional yaitu : Pertama, Penyelesaian dengan damai, ialah ketika pihak yang bersengketa sepakat dengan penyelesaian yang bersahabat. Penanganan kasus secara damai ini dilakukan secara internal oleh negara yang bertanggungjawab dalam sengketa dan dikawal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Kedua, Mediasi yaitu penggunaan perantara pihak ketiga atau seorang mediator. Mediator tersebut bisa berasal dari negara, maupun organisasi internasional seperti PBB, politikus, ahli hukum, dan seorang ilmuwan. Biasanya seorang mediator dengan kewenangannya sebagai pihak yang tidak memihak mengupayakan perdamaian semua pihak dengan memberikan saran untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hasil dari pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar biasa Organisasi Kerja sama Islam (OKI) mengenai situasi di Gaza di Riyad, Arab Saudi pada tanggal 11 November 2023, mengamanatkan Presiden Joko Widodo mengupayakan segala cara atas nama negara-negara OKI untuk menghentikan serangan Israel. Presiden Joko Widodo kemudian pada tanggal 13 November 2023 menemui Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk menghentikan kekejaman Israel, gencatan senjata, penghentian perang, dan pembukaan jalur distribusi bantuan kemanusiaan. Namun sayangnya Presiden Joe Biden belum memberikan tanggapan maksimal terkait resolusi yang disampaikan.

Adapun langkah Ketiga, adalah Penyelesaian dengan paksa atau kekerasan. Solusi penyelesaian ini dilakukan jika penyelesaian secara damai tidak bisa dilakukan sehingga perlu upaya secara paksa atau kekerasan dengan jalur Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). International Criminal Court berkedudukan di Den Haag, Belanda. Sebelum memutuskan suatu kasus kejahatan internasional, International Criminal Court memberikan kasus terhadap Negara yang ingin mengadili kasus itu. Jika sudah ada suatu Negara yang ingin memeriksa dan mengadili kasus itu, maka International Criminal Court memberikan wewenang sepenuhnya terhadap Pengadilan Negara tersebut. Namun, apabila sebuah negara itu dalam mengemban kasus tindak pidana internasional sedang mengalami unable (ketidakmampuan) dan unwilling (ketidakmauan), maka International Criminal Court berhak untuk mengadili sebuah kasus tindak pidana internasional itu dan kemudian di proses menurut konteks internasional sesuai dengan prinsip International Criminal Court yang bersifat komplementer. International Criminal Court merupakan pengadilan pidana internasional tetap yang pertama kali didirikan dan mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penuntutan, mengadili dan memberikan hukuman bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana internasional. Saat ini ada lima negara yang mengajukan Penyelidikan ke ICC atas serangan Israel terhadap Palestina yaitu Afrika Selatan, Bangladesh, Bolivia, Komoro, dan Djibouti.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada maka serangan militer yang dilakukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu jelas dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 6 (genosida), Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, d dan h (serangan yang ditujukan kepada kelompok penduduk sipil, menghilangkan akses pangan dan obat-obatan serta melakukan pengusiran orang-orang secara paksa atau perbuatan pemaksaan lainnya dari daerah di mana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional serta perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar warga Palestina yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok), dan Pasal 8 huruf b Statuta Roma 1998 (secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam perang, dan secara  sengaja  melakukan  serangan  terhadap  objek-objek  sipil, yang bukan merupakan sasaran militer seperti Rumah Sakit, Gedung dan Perumahan).

Hukum Pidana Internasional berperan dalam memberikan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran yang ada. Adapun sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Statuta Roma 1998 berupa pidana penjara maksimal 30 (tiga puluh) tahun atau pidana penjara seumur hidup. Selain itu, Mahkamah Pidana Internasional juga dapat menjatuhkan pidana denda, serta perampasan asset dan kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Namun, bagaimana ketajaman hukum internasional terhadap kejahatan genosida ini akan teruji manakala ICC dapat bertindak objektif menarik Netanyahu sebagai pelakunya serta berani menjatuhkan sanksi hukum yang berat. Tentu saja akhir dari kasus ini akan sangat dinantikan untuk menjawab apakah hukum internasional dapat diterapkan secara equal atau hanya menjadi aturan yang tidak berdaya.

*Kus Rizkianto adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

42 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com