Pidana Mati dalam Hukum Pidana di Indonesia

Oleh: Riska Finia Cahyaning Tiyas*

Pidana mati dalam hukum pidana di Indonesia masih dipertahankan. Ancama pidana mati ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Demikian juga dalam Undang-undang lain yang masuk kategori hukum pidana khusus.

Ancaman pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia secara historis awalnya ada dalam KUHP yang merupakan peninggalan penjajah Belanda. Adanya ancaman pidana mati dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan stabilitas. Ancaman pidana mati tentu menjadi senjata untuk menakuti masyarakat khususnya pribumi agar jangan coba-coba melawan pemerintah.

Kalau dilihat kepentingan kolonial, mestinya ancaman pidana mati sudah tidak relevan untuk negara yang sudah merdeka. Namun faktanya ancaman tersebut masih digunakan dalam Undang-undang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus. Demikian juga dalam KUHP baru.

Pidana mati diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa. Jauh sebelumnya, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Tidak Pidana Ekonomi juga ada ancaman pidana mati. Ketentuan pidana mati tercantum dalam Pasal 1. Delik ekonomi yang dilakukan dengan keadaan yang memperberat pidana yaitu dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat dapat dipidana mati. Pasal ini mengisyaratkan juga agar penuntut umum dan hakim harus dapat menunjukan adanya keadaan itu dalam tuntutannya atau dalam putusan hakim.

Selanjutnya ada dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) yang mengisyaratkan bentuk perlindungan terhadap HAM. Perlindungan HAM tidak saja dilihat pada hak hidup individual atau pelaku kejahatan tetapi harus melihat juga hak asasi dari pada korban dan masyarakat pada umumnya atas kejahatan yang memberikan dampak yang luas kepada masyarakat.

Kehadiran UU Pengadilan HAM juga turut memberikan perlindungan untuk seluruh-masyarakat pada umumnya dan bersifat preventif agar tidak terjadi pelanggaran atas hak hidup. Dengan demikian pidana mati pada dasarnya sesuai  dengan spirit UU Pengadilan HAM. Bahkan dalam pasal 36 dan pasal 37 secara tegas pidana mati artinya pidana mati tidak melanggar hak asasi manusia.

Menurut UU Pengadilan HAM penerapan pidana mati hanya untuk beberapa jenis kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida yang dimaksud dalam UU Pengadilan HAM berupa perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara tidak baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalamkelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. UU Peradilan HAM diorientasikan dalam kerangka perlindungan hak-hak hidup, dan tidak mampu menghindari bentuk pidana mati, ketika dihadapkan oleh jenis kejahatan dengan efek yang ditimbulkan bisa menghancurkan peradaban manusia.

Pidana mati juga ada dalam Undang-unang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Ancaman pidana mati dalam UU Narkotika dirumuskan secara cermat dan hati-hati, tidak diancamkan kepada semua pidana narkotika, seperti kepada para penyalah guna dan pengguna. Pidana mati hanya diancamkan kepada produsen dan pengedar secara gelap untuk golongan I, seperti ganja dan heroin.

Selain itu, ancaman pidana mati juga ada dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentnag Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang. Demikin juga dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP baru).

(*)

 *Riska Finia Cahyaning Tiyas adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

46 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com