Sekali lagi, mekanisme Alternatif Pengelesaian Sengketa Pemilu (APSP) sudah digunakan untuk mengisi kurangnya kredibilitas yang dimiliki oleh sistem Penyelesaian Sengketa Pemilu (PSP) formal akibat adanya konflik politik atau kelemahan lembaga peradilan. Mekanisme APSP seperti ini turut bermain ketika sengketa yang serius timbul berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilu, hari pemungutan suara atau hasil pemilu. Penyelesaian sengketa atau gugatan diserahkan kepada lembaga ad hoc khusus di luar sistem PSP formal. Salah satu contohnya adalah penerapan negosiasi dan mediasi dalam kasus Kenya dan Zimbabwe untuk mewujudkan persatuan pemerintah nasional dalam menyelesaikan konflik Politik-pemilu yang meletus akibat sengketa pemilu di kedua negara pada tahun 2008 dan 2009.
Penyelesaian sengketa pemilu di luar peradilan bukanlah hal baru. Masyarakat dunia telah lama menggunakan metode non-yudisial, adat istiadat atau informal untuk menyelesaikan konflik dan sengketa-sengketa lainnya. Contohnya seperti di Amerika Serikat (AS), mekanisme APSP diperkenalkan di beberapa negara bagian pada tahun ’70-an untuk menyelesaikan perselisihan komunitas sipil melalui mediasi dan untuk mengatasi penyelesaian yang berlarut-larut serta berbiaya tinggi akibat sistem peradilan yang penuh sesak.
Hal yang baru adalah perkembangan dari mekanisme APSP dan penggunaannya yang kian meluas dan institusionalisasi di seluruh dunia terutama dalam masyarakat pasca-konflik pada tahun-tahun belakangan. Keuntungan dari penggunaan mekanisme APSP telah berkembang hingga ke luar arena politik dan pemilu. Mekanisme ini bisa pula digunakan misalnya, untuk menyelesaikan permasalahan kompleks di tingkat komunitas ketika hubungan antara para pihak harus dijaga, kerjasama komunitas mesti diperkuat dan alternatif dari kekerasan atau litigasi diperlukan. Di Afrika Selatan, kehadiran demokrasi pada tahun 1990an diiringi dengan eksperimen besar-besaran atas APSP di area-area seperti perselisihan buruh, akses pada peradilan, pelayanan umum dan yang terpenting adalah penyelenggaraan pemilu demokratis untuk pertama kalinya pada tahun 1994.
Bermacam-macam struktur PSP dibentuk untuk menghadapi meluapnya sengketa yang muncul selama pemilu yang memanas serta untuk mendinginkan iklim politik. Upaya lain yang ditempuh adalah struktur manajemen konflik berbasis komunitas dan komite antar partai politik. Termasuk dalam struktur-struktur ini adalah mekanisme APSP antara lain negosiasi, mediasi dan arbitrase untuk menyelesaikan konflik di semua tingkatan pemerintah baik nasional, provinsi dan lokal. Mekanisme APSP kemudian digunakan secara luas dan efektif oleh negara-negara pasca konflik termasuk Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Malawi dan Mozambik sebagaimana digunakan di Afrika Selatan.
Dalam beberapa kasus, secara meluas digunakan pula metode negosiasi dan arbitrase untuk mengelola sengketa pemilu melalui pembentukan fungsi ajudikatif dan pemberian kewenangan kepada struktur berbasis sipil. Struktur ini memiliki kewenangan untuk melakukan arbitrase dan membuat putusan yang mengikat para pihak. Komite mediasi dan arbitrase dibentuk dibawah pengawasaan penyelenggara pemilu di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang bertugas sebagai “pelabuhan” pertama ketika terjadi sengketa dan membantu mengurangi tekanan terhadap peradilan formal. Negara- negara seperti Ghana dan Botswana yang seringkali dijadikan model demokrasi di Afrika, menggunakan komite perantara partai politik dan struktur berbasis komunitas lainnya untuk membantu KPU dalam memajukan pemilu yang transparan dan kredibel melalui mediasi, manajemen dan resolusi konflik yang efektif.
Secara yuridis APS di luar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa lembaga APS di Indonesia, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU No. 18 Tahun 1999 jo. UU No. 29 Tahun 2000 jo. PP No. 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 ada enam macam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu: 1) Konsultasi; 2) Negosiasi; 3) Mediasi; 4) Konsiliasi; 5) Pendapat hukum oleh lembaga arbitrase; dan 6) Arbitrase. APS yang telah diatur di Indonesia, terbatas hanya pada hukum perdagangan yang ruang lingkupnya meliputi perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Dalam bidang hukum lainnya termasuk hukum Pemilu, belum diatur.
Mekanisme APSP belum dikembangkan secara luas, dan hanya sedikit penelitian mengenai efektivitasnya. Namun demikian banyak negara yang memiliki mekanisme APSP, antara lain: Afghanistan, yang terhubung dengan lembaga pemilu daerah; Kamboja; Etiopia, Kenya; Lesotho; Malawi; Meksiko, yang memiliki lembaga pemilu daerah berbentuk komunitas adat atau etnik di bawah sistem adat setempat; Samoa; Afrika Selatan dan Uganda.
APS memiliki karakteristik sukarela dalam proses, prosedur yang cepat, fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, hemat waktu dan biaya, cenderung mereduksi atmosfer permusuhan di antara para pihak yang bersengketa serta mudah diterapkan secara lokal. Untuk mengurangi banyaknya jumlah sengketa pemilu yang masuk ke jalur formal secara terpusat, APS bisa menjadi pelengkap sistem penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Jika sengketa-sengketa yang muncul bisa langsung diselesaikan, maka para pihak tidak perlu membawanya hingga ke pusat. Di sisi lain mekanisme APSP juga memiliki kelemahan. Terutama jika salah satu pihak jauh lebih berkuasa sehingga sulit untuk menyeimbangkan ketimpangan di antara para pihak. Kelemahan lainnya adalah jika salah satu pihak tidak kooperatif, terutama dalam sengketa dengan banyak pihak. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan tentang sistem PSP di beberapa negara menyatakan dengan tegas kemungkinan untuk ditempuh mekanisme APSP. Dalam beberapa kasus, kecuali mungkin dalam kasus kecurangan, putusan APSP diberikan kekuatan hukum penuh dan bisa jadi mengikat para pihak yang terlibat. Mekanisme APSP yang digunakan dalam konteks hukum yang berbeda termasuk sistem peradilan formal pada demokrasi yang telah mapan, bervariasi mulai dari negosiasi praperadilan, di mana para pihak dianjurkan untuk bernegosiasi langsung satu sama lain sebelum memasuki proses peradilan, hingga ke sistem arbitrase atau peradilan-kecil yang menyerupai proses peradilan formal.
Institusi yang telah mapan sekali pun bisa kewalahan dalam menangani situasi sehingga memerlukan solusi alternatif. Sementara secara ideal dalam budaya politik, masyarakat berkomitmen untuk menjaga dan menghormati keputusan yang dibuat oleh lembaga yang telah mapan sehingga situasi semacam ini tidak diharapkan, namun realita di lapangan sistem yang telah mapan terkadang masih dianggap tidak cukup mampu dalam menyelesaikan sengketa secara kredibel. Walaupun demikian, pengadopsian dari solusi alternatif harus dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini bisa menetapkan contoh yang rawan disalahgunakan oleh pihak yang kalah dengan cara menggugat hasil pemilu dengan harapan solusi alternatif bisa lebih menguntungkan kepentingannya. Baik sistem PSP formal maupun APSP pada akhirnya menjadi bernilai ketika dipercaya dan dapat digunakan ketika suatu waktu diperlukan.
Belum banyak tulisan mengenai penggunaan APS seperti konsiliasi, mediasi dan arbitrase dalam sengketa pemilu. Meski demikian, akan menjadi efisien dan efektif bagi lembaga penyelenggara pemilu untuk menyediakan mekanisme ini untuk digunakan dalam penyelesaian sengketa pemilu. Di dalam lembaga penyelenggara pemilu, terutama yang terdiri atas perwakilan partai politik, lazim terjadi perdebatan sengit ketika harus menyepakati suatu sengketa. Mekanisme semacam ini akan membantu meringankan beban berat dalam menyelesaikan sengketa dan menawarkan solusi yang lebih cepat dan berbiaya lebih rendah, yang menjadi penting dalam agenda pemilu yang ketat.
Indonesia belum mengatur mekanisme APSP dalam peraturan perundang-undangan, sehingga upaya untuk memenuhi keadilan pemilu secara seimbang belum memiliki payung hukum yang jelas. Salah satu contoh kasus yang pernah diselesaikan melalui APSP di Indonesia terjadi adalah mengenai Alat Peraga Kampanye atau APK. KPU berhasil menyelesaikan permasalahan yang potensial menjadi pelanggaran apabila tidak ditangani sesuai dengan sifat sengketanya. Terjadinya sengketa bisa dicegah karena penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU bersedia untuk mendengarkan dan menindaklanjuti masukan dengan cara berinisiatif mempertemukan para pihak yang berkepentingan dalam masalah yang diajukan. Pada dasarnya ketika sengketa tidak menyentuh masalah prinsip, lembaga penyelenggara pemilu bisa menyelesaikan karena sifat masalahnya yang lebih sesuai untuk diselesaikan melalui mekanisme informal.
Hampir sama seperti APK, jadwal kampanye juga seringkali menjadi persoalan yang diajukan para peserta pemilu untuk menyimpangi aturan. Para peserta sering meminta KPU untuk menyesuaikan ulang jadwal tersebut sesuai dengan kepentingan mereka sehingga KPU perlu untuk memanggil seluruh peserta pemilu untuk mencari jalan yang bisa disepakati bersama. Dalam hal ini KPU tidak hanya sebagai penyelenggara pemilu namun juga harus bertindak sebagai fasilitator yang bisa mencari jalan tengah dan mencegah timbulnya sengketa. (*)
*Sanusi adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.