Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM

Oleh: Lukito Wijaya*

Hukum Islam termasuk yang memuat ancaman pidana mati. Pidana mati khususnya diancamkan untuk tindak pidana menghilangkan nyawa dengan sengaja yang disebut tindak pidana qishash. Qishash merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang setimpal dengan perbuatan pelaku. Misalnya pembunuhan sengaja, maka pelakunya diancam pidana mati. Pidana mati diancamkan karena setara dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku, yaitu mematikan orang.

Kata qishash berasal dari kata “qashsha-yarqushshu-qashshan” yang berarti mengikut, yaitu mengikuti perbuatan penjahat untuk mengambil perbuatan yang sesuai dengan Perbuatan penjahat untuk mengambil perbuatan yang sama dari perbuatannya itu. Qishash juga bisa dimaknai seimbang, sama dan sepadan (equality dan equivalence). Artinya seseorang yang telah berbuat pelanggaran hukum terhadap orang lain akan dihukum dalam bentuk kejahatan yang sama (sebagaimana yang telah dilakukan pelaku terhadap korban).

Tuntutan pidana mati untuk tindak pidana qishash dalam hukum Islam merupakan hak para wali (keluarga korban). Korbanlah yang berhak melaksanakan qishash namun tetap pelaksanannya di bawah kewenangan hakim. Tuntutannya harus melalui pengadilan. Apabila korban tidak melaksanakan qishash dengan memaafkan pelaku, maka ancaman pidananya turun menjadi diyat. Hal ini dianggap sebagai kebaikan atau kemurahhatian keluarga korban, sehingga pelakunya harus membalas kebaikan tersebut dengan memberikan diyat.

Ancaman pidana mati dapat diganti dengan pidana diyat manakala keluarga korban yang dibunuh memaafkan. Kasus demikian (diancam pidana qishash) sering terjadi menimpa tenaga kerja Indonesia. Kerap terjadi kasus tenaga kerja Indonesia melakukan tindak pidana pembunuhan di Arab Saudi yang memberlakukan hukum pidana Islam, lalu pelakunya dipidana mati (qishash). Ada juga yang dimaafkan oleh keluarga korban sehingga tidak kena qishash.

Ancaman pidana mati saat ini kontroversial. Banyak yang memandang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya hak hidup. Tampaknya pengkritik pidana mati dengan perspektif HAM hanya melihat dari sisi pelaku yang diancam pidana mati. Sedangkan dari sisi korban yang sudah merasakan kehilangan keluarga karena dibunuh oleh pelaku, tidak dijadikan perspektif.

Meskipun pidana mati kian kontroversi, namun banyak negara yang masih memberlakukan. Termasuk Indonesia.   Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga undang-undang lain seperti Undang-undang antri terorisme dan penyalahguna narkotika juga memuat ancaman pidana mati.

Tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam tidak semua diancam pidana mati. Ada tiga macam tindak pidana pembunuhan, yaitu: pembunuhan sengaja (al- amd), tidak sengaja (alkhatta’) dan serupa sengaja (syibh al-‘amd). Tindak pidana pembunuhan yang diancam pidana mati hanya tindak pidana pembunuhan segaja. Selainnya diancam diyat (ganti rugi atau denda).  Sedangkan KUHP tindak pidana pembunuhan hanya dikategorikan menjadi dua bagian yaitu pembunuhan sengaja (dolus) yang terdapat dalam pasal 338, dan pembunuhan kesalahan (culpa) yang terdapat dalam pasal 359.

Apabila menggunakan perspektif HAM dalam mengkaji ancaman pidana mati, memang seolah bertentangan dengan hak hidup yang harus dilindungi. Sebab, hidup bukan pemberian dari negara atau manusia lain. Hak Hidup adalah hak yang paling tinggi dan mendasar. Inilah yang menjadikan hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, perspektif HAM akan mengutuk pidana mati.

Namun sekali lagi, hal demikian apabila orientasinya pada pelaku yang masih hidup. Beda ceritanya kalau menggunakan orientasi korban yang telah dirampas atau dihilangkan nyawanya oleh pelaku. Karena itu, dalam hukum Islam ancaman pidana mati hanya untuk tindak pidana pembunuhan dengan sengaja dan menjadi hak keluarga korban untuk menggunakan haknya atau tidak.

HAM menurut Islam sebagai aspek  theosentris (mengandung aspek ketuhanan dan hidupnya manusia dimaksudkan untuk mengabdi kepada-Nya. Dengan kata lain HAM dalam pandangan Islam dikategorisasikan sebagai aktivitas yang didasarkan pada diri manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan di Barat, negeri asalnya yang mengkampanyekan HAM, lebih bertitik tolak kepada antroposentris di mana melihatnya dengan menyelaraskan dengan keberadaan manusia sehingga watak Yang berkembang lebih dekat penghargaan terhadap individu semata.

*Dikutip dari berbagai sumber.

 *Lukito Wijaya adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

 

58 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com