HAMPIR semua media massa atau PERS nasional plus media sosial dibanjiri soal kasus Vina Cirebon. Kasus yang terjadi 2016 silam ini kembali mencuat dan viral setelah dirilisnya film Vina: Sebelum 7 Hari.
Kasus ini mengalahkan kebijakan naiknya UKT (Uang Kuliah Tunggal), Revisi UU Penyiaran yang merampas kebebasan PERS, dan sejumlah kebijakan negara yang dinilai memberatkan rakyat seperti Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), rencana kenaikan Tarif listrik, pajak bakal naik di tegah mahalnya harga kebutuhan pokok.
Dan jangan lupa Ada juga selentingan MA (Mahkamah Agung) yang berpotensi mengubah aturan batas usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah jelang Pilkada Serentak 2024. Ya, mirip kasus MK Jelang Pilpres 2024 kemarin.
Kasus Vina Cirebon ini benar-benar menyedot perhatian publik, terlebih banyak yang kemudian menarasikan kejadian aslinya lebih “parah’ dari film, ditambah lebih dramatis ketika ketika dari 3 Daftar Pencarian Orang (DPO), sudah 1 orang, yakni Pegi alias Perong yang dianggap otak pembunuhan tertangkap dan jadi tersangka.
Pegi ini juga menuai simpati publik, lantaran justru dinilai sebagai korban, atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai tumbal pelaku sebenarnya yang diduga merupakan anak atau kolega dari pejabat negara, dalam hal ini kepolisian.
Narasi-narasi yang bertebaran di media sosial diperkuat dengan media-media mainstream nasional yang mengangkat topik Vina ini secara eksklusif.
Semua media nasional menyediakan panggung khusus bagi para pesohor yang melibatkan diri dalam ‘mencari keadilan untuk vina’, menambah isu ini makin menarik untuk disimak dan diikuti khalayak.
Barangkali setelah konon meraup cuan hingga 60 Miliar dari film garapannya ini, Sang Produser Dheeraj Kalwani bakal membuat scuel Film Vina dengan angle “Pegi Perong”!
Ya, kasus Vina Cirebon seolah bukan sekadar kasus kriminal biasa dan sudah menjadi kepentingan publik, bukan lagi kepentingan keluarga korban.
Ini seolah dianggap berkaitan erat dengan masalah besar bangsa Indonesia saat ini yakni penegakan hukum yang karut marut, jauh dari kata kredibel bahkan akuntabel.
Jadi agak mirip atau sebenarnya bersinggungan dengan persoalan kenaikan UKT, TAPERA dan rencana kenaikan Tarif listik serta pajak yang juga muaranya persoalan nir akuntabilitas dan penegakkan hukum serta konstitusi yang justru menambah penderitaan rakyat!
Terkait Kasus Vina yang solah mewakili kepentingan publik, melebihi kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang populis saat ini, maka penulis teringat dengan pernyataan pakar psikologi klinis dari Texas Tech University, Dr. George Simon di sebuah laman konsultasi yang ia ampu, yakni counselling resource.
Kurang lebihnya, Simon mengungkapkan bahwa ada strategi yang digunakan oleh seseorang (juga bisa digunakan oleh negara, pen), untuk menghidari tanggung jawab untuk bersikap akuntabel, dengan pengalihan isu.
Menghindari suatu masalah yang menjadi perhatian utama adalah cara yang bagus, tidak hanya untuk menghindari tanggung jawab, namun juga untuk menjaga agar citranya tetap baik di mata awam.
Langkah menghindari masalah yang cukup efektif adalah dengan pngalihan isu. Orang-orang yang mempermasalahkan sikap, tindakan atau perbuatannya dialihkan fokusnya ke persoalan lain yang seolah berkaitan dan jauh lebih penting untuk disikapi.
Tentu itu agar orang yang mempersoalkan benar-benar lupa atau setidaknya teralihkan.
Menciptakan persolan yang seolah bersinggungan atau berkaitan dengan yang dipersoalkan sebelumnya bukanlah hal yang sulit bagi siapa saja yang punya power (kekuasaan).
“Taktik pengalihan sering kali sejalan dengan penghindaran. Mereka akan mengubah topik pembicaraan secara efektif, memusatkan perhatian pada beberapa masalah lain yang terkait atau bahkan bersinggungan. Ketangkasan emosional ini merupakan cara yang efektif untuk menjaga perhatian tetap terfokus pada hampir semua hal lain selain masalah yang diangkat (dipersoalkan) pada awalnya,” kata George Simon.
Menurut Simon, sudah jelas bahwa orang yang menggunakan taktik pengalihan isu tidak mempunyai itikad baik untuk bertanggung jawab atas suatu perilaku (kebijakan) atau mempertimbangkan untuk mengubahnya.
Ya, bersimpati terhadap kejahatan yang menimpa sesame warga negara bukanlah hal buruk, namun jangan sampai justru membuat terabaikannya kepentingan publik yang lebih besar.
Segala sesuatu ada porsinya. Penegakkan hukum terhadap kasus seperti Vina Cirebon ini memang harus didorong, namun tak kalah penting adalah bagaimana hukum negara yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia juga harus dikawal agar tetap ditegakkan.
Kenaikan UKT jelas menutup akases Pendidikan tinggi bagi rakyat kurang mampu. Itu tidak sejalan dengan jargon “MERDEKA BELAJAR”.
Rencana Kenaikan tarif listrik dan kenaikan pajak di tengah naiknya harga-harga kebutuhan pokok plus potongan penghasilan untuk TAPERA juga sudah terang menjadi Tambahan Penderitaan Rakyat! (*)
*Penulis adalah penggiat pada komunitas penulis Kata Mata Pena Jogja