Menilik Pembebasan Bersyarat Jessica dari Perspektif Keadilan Korban

Oleh: Kus Rizkianto*

Masih hangat diingatan masyarakat terhadap sosok Jessica Kumala Wongso atau Jessica Wongso, yang kini kembali menjadi perbincangan publik setelah mendapat Pembebasan Bersyarat dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dinyatakan bebas bersyarat pada tanggal 18 Agustus 2024.

Sebagaimana diketahui, 8 tahun yang lalu Jessica telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Kopi Sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin. Kasus tersebut terjadi pada tanggal 6 Januari 2016 berawal dari Jessica yang memesan Es Kopi Vietnam untuk Wayan Mirna Salihin dan dua cocktail untuk temannya, Hani. Namun tak berselang lama, setelah Mirna meminum es kopi tersebut mengalami kejang-kejang dan kemudian meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Abdi Waluyo.

Pada 16 Januari 2016, Kepala Puslabfor Polri saat itu, Brigadir Jenderal Alex Mandalikan mengungkap adanya zat sianida di dalam kopi Mirna. Atas dasar tersebut, Penyidik Polda Metro Jaya kemudian melakukan serangkaian proses penyidikan dan menetapkan Jesssica sebagai Tersangka dan ditahan sejak 29 Januari 2016. Kemudian dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober 2016, Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara kepada Jessica selama 20 (dua puluh) tahun dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani. Hal ini berarti Jessica semestinya bebas sekira tahun 2036, namun bebas bersyarat pada tanggal 18 Agustus 2024.

Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Jessica didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor PAS-1703.PK.05.09 Tahun 2024. Merujuk pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 83 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, Pembebasan Bersyarat adalah hak narapidana untuk bebas lebih cepat dengan syarat telah menjalani pidana (hukuman) paling singkat 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan memenuhi syarat-syarat tertentu seperti berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan penurunan tingkat resiko.

Ketentuan ini berarti Jessica harus sudah menjalani pidana penjara kurang lebih 13 (tiga belas) tahun terlebih dahulu. Hal tersebut memang dipenuhi oleh Jessica karena Ia sudah menjalani penahanan sejak 29 Januari 2016 ditambah remisi sebanyak 58 bulan 30 hari. Sehingga total masa penahanan yang sudah dijalani kurang lebih 13 (tiga belas) tahun enam bulan dan hukumannya yang sisa 7 (tujuh) tahun ditambah masa percobaan 1 (satu) tahun akan dijalani di luar Lembaga Pemasyarakatan. Masa percobaan tersebut didasarkan pada Pasal 15 ayat (3) KUHP dengan ketentuan selama 8 (delapan) tahun kedepan, Jessica tidak boleh mengulangi tindak pidana yang lama maupun melakukan tindak pidana yang baru. Jika selama masa percobaan dilanggar, maka Jessica kembali menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

Namun yang menjadi persoalan adalah dalam peraturan-peraturan tersebut tidak mensyaratkan adanya persetujuan dari korban atau ahli warisnya. Padahal korban merupakan pihak yang paling dirugikan atas terjadinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini ahli waris atau keluarga Wayan Mirna Salihin. Sehingga terhadap pemberian pembebasan bersyarat kepada Terpidana seharusnya tidak boleh mengabaikan hak-hak korban sebagai pihak yang telah dirugikan. Terlepas dari adanya pendapat dan perasaan tidak bersalah dari Jessica, adanya Putusan pengadilan yang bersifat Inkracht telah membuktikan berdasarkan fakta persidangan bahwa Jessica bersalah.

Dalam penyelesaian perkara pidana, hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Andi Hamzah berpendapat bahwa dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan hak-hak para korban.  Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana juga dikemukakan oleh Prassell yang menyatakan : “Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators.”

Padahal, dalam kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia, dikemukakan bahwa : “Victims rights sold be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system” (Hak-hak korban seharusnya terlibat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana). Harus diakui bahwa peradilan pidana pada dasarnya lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pembuat kejahatan (pelaku) karena sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan bukan melayani kepentingan korban kejahatan. Alasannya antara lain adalah kejahatan melanggar kepentingan publik (hukum publik), maka reaksi atas kejahatan menjadi monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi praktik peradilan pidana, akibatnya orang yang terlanggar haknya akan menderita dan diabaikan oleh sistem peradilan pidana.

Perdebatan mengenai partisipasi korban dalam sistem peradilan pidana mengundang pro dan kontra yang masing-masing memberikan dasar argumentasi teoritik berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Umumnya mereka sepaham bahwa korban harus memperoleh hak-hak hukum guna memenuhi kepentingannya. Jadi pemberian bebas bersyarat yang adil bagi korban adalah manakala Terpidana semaksimal mungkin mengembalikan posisi korban seperti semula dan mendapat persetujuan dari korban atau ahli warisnya. Dengan demikian maka akan tercipta keadilan bagi korban maupun pelaku tindak pidana.

*Dikutip dari berbagai sumber.

*Kus Rizkianto adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

55 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com