Penghapusan jurusan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Indonesia merupakan fenomena yang semakin sering dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini diambil dengan tujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih bagi siswa dalam memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2022, sekitar 40% SLTA di Indonesia telah menghilangkan jurusan tradisional seperti IPA, IPS, dan Bahasa, dan beralih ke sistem yang lebih berbasis kompetensi (Kemendikbud, 2022). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap pemilihan jurusan di perguruan tinggi, yang selama ini sangat bergantung pada latar belakang pendidikan siswa di SLTA.
Perubahan ini juga berakar dari kebutuhan untuk menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dunia kerja yang semakin dinamis. Dalam laporan World Economic Forum (2020), diperkirakan bahwa 85% pekerjaan yang akan ada pada tahun 2030 belum ada saat ini, sehingga pendidikan harus lebih adaptif dan relevan. Akibatnya, penghapusan jurusan di SLTA diharapkan dapat mengurangi sekat-sekat yang ada dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai disiplin ilmu sebelum memutuskan jurusan di perguruan tinggi. Namun, meskipun tujuan dari kebijakan ini terlihat positif, terdapat kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Banyak siswa yang merasa bingung dan tidak memiliki arahan yang jelas mengenai jurusan yang akan diambil setelah lulus dari SLTA. Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada tahun 2021, yang menunjukkan bahwa 60% mahasiswa baru merasa tidak yakin dengan pilihan jurusan mereka (APTISI, 2021).
Salah satu dampak signifikan dari penghapusan jurusan di SLTA adalah perubahan pola pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Dengan hilangnya jurusan yang jelas, siswa cenderung memilih jurusan yang lebih umum, seperti Hukum, Manajemen atau Ilmu Komunikasi, yang dianggap lebih fleksibel dan tidak terikat pada satu bidang spesifik. Data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan 25% peminat jurusan Manajemen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia (PDPT, 2023). Di sisi lain, jurusan-jurusan yang lebih spesifik seperti Teknik atau Kedokteran mengalami penurunan peminat. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya persiapan yang memadai dari siswa yang tidak memiliki latar belakang jurusan tertentu di SLTA. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), siswa yang tidak memiliki dasar yang kuat di bidang IPA cenderung kesulitan dalam mengikuti perkuliahan di jurusan Teknik atau Kedokteran, sehingga berujung pada tingkat drop-out yang tinggi (UPI, 2022).
Penghapusan jurusan di SLTA juga berpotensi memperlebar kesenjangan antara jurusan yang diminati dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam laporan BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2022, terdapat 1,5 juta lulusan perguruan tinggi yang menganggur, di mana sebagian besar berasal dari jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri (BPS, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jurusan yang tidak berdasarkan pada minat dan kemampuan yang sesuai dapat berujung pada ketidakpuasan dan kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Perubahan dalam sistem pendidikan yang diakibatkan oleh penghapusan jurusan di SLTA juga mengindikasikan adanya pergeseran paradigma dalam pendidikan di Indonesia. Paradigma baru ini menekankan pada pendekatan interdisipliner, di mana siswa didorong untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan dari berbagai bidang. Hal ini sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud, yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam menentukan jalur pendidikan mereka (Kemendikbud, 2021). Namun, meskipun pendekatan ini memiliki potensi untuk menghasilkan lulusan yang lebih adaptif dan kreatif, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengukur dan mengevaluasi kompetensi siswa secara efektif. Banyak sekolah yang masih menggunakan sistem evaluasi tradisional yang tidak mencerminkan kemampuan siswa secara utuh. Menurut data dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), sekitar 70% sekolah di Indonesia masih menerapkan metode evaluasi yang tidak sesuai dengan prinsip Merdeka Belajar (LPMP, 2022).
Di sisi lain, penghapusan jurusan juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk orang tua, guru, dan lembaga pendidikan tinggi. Kerjasama yang baik antara SLTA dan perguruan tinggi sangat penting untuk memberikan bimbingan yang tepat kepada siswa dalam memilih jurusan yang sesuai. Sebagai contoh, beberapa perguruan tinggi telah mulai mengadakan program sosialisasi dan workshop untuk membantu siswa memahami berbagai jurusan yang ada dan prospek karier yang dapat diambil setelah lulus.
Kesiapan siswa dalam menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penghapusan jurusan di SLTA menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan kebijakan ini. Siswa perlu dipersiapkan dengan baik agar dapat mengidentifikasi minat dan bakat mereka secara mandiri. Menurut survei yang dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Indonesia, sekitar 55% siswa merasa kurang siap untuk memilih jurusan di perguruan tinggi setelah penghapusan jurusan di SLTA (Yayasan Pendidikan Indonesia, 2023).
Pendidikan karakter dan keterampilan soft skill juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran di SLTA. Siswa yang memiliki keterampilan komunikasi, kerja sama, dan pemecahan masalah yang baik cenderung lebih mampu beradaptasi dengan perubahan dan memilih jurusan yang tepat di perguruan tinggi. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk mengintegrasikan pembelajaran keterampilan ini dalam kurikulum mereka.
Tantangan yang dihadapi adalah kurangnya pelatihan bagi guru dalam mengimplementasikan pendekatan ini. Banyak guru yang masih terjebak dalam metode pengajaran tradisional dan belum sepenuhnya memahami konsep Merdeka Belajar. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, hanya 30% guru yang mengaku telah mendapatkan pelatihan terkait implementasi Merdeka Belajar (Pusat Penilaian Pendidikan, 2022). Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas guru agar dapat mendukung siswa dalam menghadapi perubahan.
Penghapusan jurusan di SLTA memiliki dampak yang signifikan terhadap pemilihan jurusan di perguruan tinggi di Indonesia. Meskipun bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dan kebebasan bagi siswa, tantangan yang dihadapi dalam implementasinya menunjukkan bahwa kesiapan siswa, dukungan dari guru dan orang tua, serta evaluasi yang tepat sangat penting untuk keberhasilan kebijakan ini. Oleh karena itu, beberapa hal dapat diajukan untuk meningkatkan efektivitas penghapusan jurusan ini.
Pertama, perlu adanya program bimbingan karier yang lebih terstruktur di SLTA untuk membantu siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Program ini sebaiknya melibatkan perguruan tinggi dan dunia industri agar siswa mendapatkan informasi yang akurat mengenai prospek karier di berbagai jurusan. Kedua, pelatihan bagi guru dalam mengimplementasikan pendekatan Merdeka Belajar perlu ditingkatkan, sehingga mereka dapat mendukung siswa dengan lebih baik. Ketiga, perlu adanya kerjasama yang lebih erat antara SLTA dan perguruan tinggi dalam mengadakan workshop dan seminar yang dapat memberikan wawasan kepada siswa tentang berbagai jurusan yang ada. Dengan demikian, siswa akan lebih siap dan percaya diri dalam memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Terakhir, evaluasi yang lebih komprehensif dan berbasis kompetensi perlu diterapkan untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan penghapusan jurusan di SLTA dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan dan pemilihan jurusan di perguruan tinggi di Indonesia.
*Dikutip dari berbagai referensi.
*Tiyas Vika Widyastuti adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung.