Tanggal 24 September 2024 menandai 64 tahun lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebuah tonggak sejarah dalam perjuangan agraria di Indonesia. UUPA hadir dengan misi utama untuk mengakhiri ketimpangan kepemilikan tanah yang diwariskan dari era kolonial, sekaligus untuk memastikan tanah dikelola demi kemakmuran rakyat, khususnya para petani. Dengan asas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, UUPA menjadi fondasi reformasi agraria di tanah air.
Namun, setelah enam dekade lebih, cita-cita luhur UUPA perlahan-lahan mulai terkikis. Pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom rakyat justru kerap terjebak dalam arus kepentingan segelintir elite dan oligarki. Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang-gadang sebagai langkah akselerasi pembangunan sering kali berdampak pada perampasan tanah rakyat secara sistematis. Dari Pantai Indah Kapuk (PIK), Rempang, Wadas, hingga berbagai wilayah lain, konflik agraria struktural terjadi, menghancurkan kehidupan masyarakat marginal yang menjadi korban kebijakan.
Kasus di PIK misalnya, menjadi bukti bagaimana lahan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama justru dijadikan lahan komersial mewah yang menguntungkan segelintir pihak. Rempang dan Wadas menghadirkan contoh nyata di mana masyarakat lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan alam, tiba-tiba diusir dan dipaksa meninggalkan tanah mereka atas nama kepentingan negara. Kehadiran aparat keamanan di lokasi-lokasi tersebut hanya memperdalam luka sosial dan memperuncing ketidakadilan.
Legitimasi hukum yang mendukung percepatan PSN pun tidak terlepas dari manipulasi. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang percepatan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) menjadi salah satu kebijakan agraria yang paling kontroversial. Regulasi ini memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor selama 180 tahun, sedangkan warga lokal asli hanya diberikan Hak Pakai selama 10 tahun. Tentu suatu kebijakan yang jelas bertentangan dengan semangat UUPA. Alih-alih memprioritaskan rakyat, kebijakan ini justru memperpanjang dominasi pemodal besar atas sumber daya agraria nasional.
Dalam banyak kasus, pemerintah menggunakan dalih pembangunan untuk membenarkan perampasan lahan. Tanah yang telah dikelola oleh masyarakat adat dan petani selama puluhan tahun dengan penuh kearifan lokal kini dirampas tanpa memberikan solusi yang adil. Tidak hanya itu, pola penggusuran ini sering kali tidak melalui mekanisme yang transparan dan berkeadilan, sehingga menciptakan resistensi dari masyarakat yang pada akhirnya berujung pada konflik terbuka.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah bukti nyata bahwa UUPA telah dikhianati. Perjuangan untuk mengembalikan tanah kepada rakyat seperti yang diamanatkan UUPA menjadi tantangan berat ditengah masifnya intervensi oligarki dalam proses legislasi. Kebijakan yang lahir saat ini cenderung berpihak pada kepentingan modal dan korporasi, bukan kepada rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Untuk itu, perlu ada upaya serius dari negara untuk mengembalikan filosofi UUPA ke jalan yang benar. Pemerintah harus menyadari bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya sekadar aturan tertulis, tetapi merupakan panduan moral dan etika dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara harus menjadi pelindung hak-hak rakyat atas tanah, bukan justru memfasilitasi perampasannya.
Dalam menghadapi arus globalisasi dan kepentingan pembangunan, semangat UUPA harus dijaga dengan teguh. Keberpihakan pada rakyat kecil, terutama petani dan masyarakat adat, harus menjadi prioritas. Pemerintah harus berani meninjau ulang kebijakan-kebijakan agraria yang tidak adil dan bertentangan dengan amanat konstitusi.
64 tahun UUPA harus menjadi momentum refleksi bagi bangsa Indonesia. Pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan harus segera menghentikan praktik perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional dan mengembalikan tanah kepada rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran mereka, bukan hanya kemakmuran untuk seglintir elit dan oligarki.
*Bha’iq Roza Rakhmatullah adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.