Banyak Bangunan di Lombok Kurang Memperhatikan Aspek Kekuatan

YOGYAKARTA – Gempa magnitudo 7 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 29 Juli dan 5 Agustus yang lalu, selain mengakibatkan ratusan korban meninggal, juga mengakibatkan kerusakan fisik bangunan milik masyarakat maupun infrastruktur publik. Menurut Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Hingga Senin (13/8/2018) tercatat 436 korban meninggal. Kebanyakan korban tertimbun reruntuhan bangunan. 

Relawan tenaga teknis ahli bangunan untuk memeriksa keamanan dan kelayakan bangunan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menemukan fakta banyak bangunan yang sebelumnya dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli, sehingga kurang memperhatikan aspek kekuatan bangunan. Akibatnya, saat gempa, bangunan mudah roboh,

“Kami menemukan banyak bangunan yang roboh itu pertama karena tidak punya balok dan kolom beton bertulang. Itu yang paling parah. Selain itu, ada pula yang sebenarnya sudah ada beton bertulang tapi tidak saling berkait,” kata Dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM Selasa (14/08/2018), Ashar Saputra, Ph.D.

Salah satu dosen UGM yang melakukan asesmen tahap pertama untuk relawan tenaga ahli bangunan untuk korban Gempa NTB, tersebut mengungkapkan Tim relawan dari FT UGM diterjunkan pada Senin (06/08/2018) yang lalu bersamaan dengan  tenaga medis. Menurut Ashar, kegiatan pemeriksaan bangunan dilaksanakan pada Selasa (07/08/2018) dan Rabu (08/08/2018) kemarin. Pemeriksaan, kata dia, dilakukan oleh tim dengan mengacu pada prosedur standar ATC-20 (Applied Technology Council-20).

“Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bangunan aman untuk dapat digunakan lagi, terutama untuk bangunan penting seperti rumah sakit rujukan guna menunjang penanganan korban. Untuk bangunan rumah sakit sendiri, kondisi fisik sebagian besar bangunannya masih relatif baik dan layak untuk difungsikan,” ujarnya.

Ashar memaparkan, dari 6 rumah sakit rujukan yang diperiksa Tim, ada beberapa bangunan yang tidak aman untuk digunakan kembali. Namun demikian, kata dia, mayoritas masih cukup layak.

“Masing-masing RS kira-kira 75-80% bangunan masih layak untuk operasional,” katanya.

Penilaian ini, menurutnya dihasilkan dari data pemeriksaan yang dilakukan setelah gempa kedua pada 5 Agustus silam. Ia mengungkapkan, setelah kembali terjadi gempa ketiga dengan kekuatan yang cukup besar beberapa hari yang lalu, UGM akan kembali mengirim tim asesmen untuk memastikan kembali keamanan bangunan. Meski demikian, kata dia, hasil asesmen  tidak akan jauh berbeda dari hasil asesmen yang telah dihasilkan sebelumnya,

“Sesuai ketentuan harus dipastikan kembali. Setelah ini akan ada tim yang ditugaskan untuk itu,” imbuhnya. 

Dijelaskan Ashar, selain memeriksa bangunan fasilitas kesehatan, tim ini juga memeriksa fasilitas publik lainnya, seperti sekolah, bangunan ibadah, serta berbagai prasarana umum. Pemeriksaan terhadap rumah-rumah warga juga akan dilakukan oleh UGM dengan menggandeng serta memberikan pelatihan pada tenaga relawan dari perguruan tinggi di Lombok serta LSM terkait,

“Untuk mencegah kerusakan fisik yang besar di waktu-waktu mendatang, kami menyarankan agar pemerintah daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum lebih memberikan pengawasan terhadap prosedur standar pembangunan, khususnya untuk fasilitas publik sesuai dengan prinsip keutamaannya,” imbuh Ashar. (kt1)

Redaktur: faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com