Refleksi 10 Muharram, Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Gelar Acara Bertajuk Lambang Sari Bakti Cinta untuk Negeri

BANTUL –  Pondok Pesantren (PP) Kaliopak bersama bersama Lesbumi, Aliansi Bela Garuda dan IRK menggelar peringatan tahun baru Islam tepatnya 10 Asyuro 1442 H,  Sabtu (29/08/2020) malam di PP Kaliopak, Klenggotan, Srimulyo, Piyungan Bantul. 

Narahubung acara, Brily, dalam keterangan persnya mengungkapkan, dalam peringatan tahun baru Islam kali ini, tarian Bedhaya Lambangsari dijadikan sebagai ikon. Menurutnya, tarian tersebut merupakan simbol cinta, kebersamaan dan ketulusan atau kesucian hati untuk memberikan yang paling berharga dari diri kita untuk kesejahteraan semua, untuk bangsa, negara dan dunia,

“Bedhaya Lambangsari ini diciptakan pada era Sultan Hamengku Buwono VII oleh maestro tari dan gendhing kraton KRT. Purbaningrat. Dalam balutan doa dan saresehan budaya kami ingin mengajak untuk meresapi makna cinta di dalam tujuan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.

Brily menjelaskan, di tengah bencana pandemi yang hampir setengah tahun ini kita rasakan bersama, secara tidak langsung membuat kita berfikir, merefleksikan hakikat hidup yang merangsek terus menerus di dalam kesadaran kita. Banyaknya pemberitaan yang membanjiri arus informasi yang setiap saat kita serap tidak membuat perenungan itu menjawab pertanyaan besar terkait apa makna hidup ini ada,

“Tetapi malah sebaliknya kita terus menerus didesak dengan banyaknya fenomena atas kekacauan politik, perebutan kuasa, hilir mudik ketidak adilan yang setiap saat dipertontonkan oleh elit pemimpin kita. Hal tersebut bisa kita sebut ironi ditengah realitas sosial politik kita saat ini,” ”ujarnya.

Ia menjelaskan, ketika para pendiri bangsa kita, para syuhada, pejuang kemerdekaan, mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan bangsa. Bahkan mereka mati-matian dengan susah payah membuat tatanan agar kita sebagai komunitas besar di bawah payung Indonesia tetap tegak berdiri sebagai bangsa yang terus terikat dengan sejarah masa lalunya. Tetapi kita hari ini, justru melucuti tatanan yang sudah digariskan oleh para pendiri bangsa tersebut, dengan apa yang telah dicita-citakan oleh mereka, yaitu menciptakan kehidupan luhur, keadilan sosial sebagai soko gurunya, dan menciptakan kedamaian ditengah kehidupan bersama,

“Saat itulah ironi besar ini bisa kita sebut sebagai hilangnya orientasi besar kita dalam bernegara atau juga bisa disebut kita sedang lupa tujuan bernegara. Pertanyaan besar selanjutnya adalah masihkah ada cinta di dalam hati kita untuk bangsa dan negara kita?. Disaat kepentingan diri pribadi lebih kita utamakan dari pada kepentingan bersama sebagai bangsa. Karena bagaimanapun tanpa didasari cinta kita tidak akan menemukan apa arti dari bernegara,” ” ujarnya.

Menurut Brily, Bulan Muharram atau masyarakat jawa menyebutnya bulan Suro adalah salah salah bulan yang dimuliakan di dalam Tradisi Islam. Bulan Muharram adalah penanda masuknya Tahun Baru dalam kalender Hijriyah, juga Jawa. Bagi Bangsa Indonesia, Peringatan ‘Asyuro tahun ini juga istimewa karena berbarengan dengan peringatan bulan kemerdekaan bangsa, buah perjuangan para foundingfathers, syuhada’ dan rakyat Indonesia.

Di samping menandai masuknya tahun baru, kata dia,  bulan Muharram (Suro) juga dimuliakan karena di dalamnya mengandung muatan dan pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa
Historis yang agung dari pengalaman perjuangan tokoh-tokoh suci untuk kebenaran, keadilan dan keselamatan semesta.

Peristiwa tersebut diantaranya, mendaratnya bahtera Nabi Nuh AS selamat dari banjir besar dunia, dingin-padamnya api yang membakar Nabi Ibrahim AS dan menyelamatkannya dari keangkaramurkaan Namrudz, selamatnya Nabi Musa AS dari kejaran Fir’aun beserta bala tentaranya, dan yang tak kalah mengharu biru hati umat Islam hingga kini adalah peristiwa syahidnya Sayyidina Husein RA di
Padang Karbala dalam menjaga nyala kebenaran dan keadilan Islam. 

“Oleh karena itu, dalam momentum penting ini, kami dari Pesantren Kaliopak akan mengadakan serangkaian kegiatan untuk memperingati bulan Muharram ini,” imbunya.

Acara dimulai pukul 19.30 WIB dengan rangkaian pembacaan Kidung Rumekso Ing Wengi, pembacaan Pembukaan UUD 1945. Dilanjutkan Ritual Lampah Merah Putih dan Tari Bedhaya Lambang Sari. Acara ditutup dengan pembacaan rawen (syair) Sholawat Jawi Emprak, doa bersama serta sarasehan budaya dengan sejumlah tokoh,

“Acara ini tetap menggunakan protokol kesehatan,” tutupnya. (pr/kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com