Ketidakadilan Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan

Oleh : Mahardika Danu Saputra, S.H, M.A.P.

Pengeroyokan berasal dari kata keroyok yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu tindakan menyerang beramai-ramai (orang banyak).[1] Secara normatif, pengeroyokan merupakan suatu tindakan yang dicela dan merupakan tindakan kejahatan yang diatur dan diancam dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang berbunyi :

(1)

Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2)

Yang bersalah diancam :

  1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan tang digunakan mengakibatkan luka-luka;
  2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
  3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika kekerasan mengakibatkan matinya orang.

(3)

Pasal 89 tidak berlaku

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Dengan Pasal-Pasalnya menjelaskan bahwa yang dilarang dalam Pasal ini adalah melakukan kekerasan yang terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”. Kekerasan dimaksud harus dilakukan secara bersama-sama artinya sedikitnya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Adapun orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan pengeroyokan tidak dapat dikenakan pasal ini. Sasaran kekerasan itu harus ditujukan kepada “orang” atau “barang”. Adapun hewan atau binatang menurut R. Soesilo masuk dalam maksud pasal ini. Selain itu kekerasan tersebut juga harus dilakukan dimuka umum. Hal ini disebabkan karena kejahatan ini masuk dalam golongan kejahatan dimuka umum.[2]

Tindak pidana kejahatan pengeroyokan merupakan tindak pidana yang masuk dalam delik umum. Pada dasarnya laporan ataupun penuntutan terhadap tindak pidana  ini tidak dapat dihentikan meskipun telah dilakukan upaya damai antara korban dan pelaku. Akan tetapi dengan mengingat ketentuan Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka keadilan restoratif masih dapat diupayakan dengan memenuhi syarat sebagai berikut :

 

Syarat materiel meliputi :

  1. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
  2. tidak berdampak konflik sosial;
  3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
  4. prinsip pembatas:
  5. pada pelaku:
  • tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan
  • pelaku bukan residivis;
  1. pada tindak pidana dalam proses:
  • penyelidikan; dan
  • penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;
 

Syarat formil, meliputi:

  1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
  2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
  3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
  4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
  5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Akan tetapi pada prinsipnya proses penegakan hukum tetap berjalan meskipun terdapat perdamaian antara pelaku dan korban.

Makna adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu yang sama, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak sewenang-wenang dan sepatutnya.[3] Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah adil apabila dalam tindak pidana pengeroyokan terdapat perbedaan putusan hakim dalam memberikan vonis hukuman?. Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka penting menimbang dan mengingat serta memahami makna disparitas putusan hakim.

Disparitas merupakan ketidaksamaan hukuman antara kejahatan yang sama (same offence) dalam kondisi yang sama pula (comparable circumstance).[4] Dalam lingkup Peradilan pidana, disparitas putusan hakim dipandang sebagai suatu yang wajar.Meskipun oleh publik memandang sebuah disparitas dari sudut pandang sosiologis sehingga menghasilkan kesimpulan persepsi adanya ketidakadilan, namun dalam sudut pandang yuridis keadaan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum.[5] Bahkan dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman disebutkan yang pada pokoknya yakni hakim dalam memutuskan suatu perkara  wajib menjaga kemandirian serta dalam mempertimbangkan berat ringannya suatu pidana, hakim harus memperhatikan sifat baik dan jahat dari terdakwa.

Sebagai contoh adanya disparitas putusan hakim dalam perkara tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama yakni putusan Nomor :131/Pid.sus/2013/PN.Mlg dan Putusan Nomor : 144/Pid. Sus/2014/ PN. Mlg. Dalam putusan Nomor :131/Pid.sus/2013/PN.Mlg, Majelis Hakim menjatuhkan vonis “hukuman tindakan” berupa pengembalian kepada orang tua terdakwa namun tetap dibawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing kemasyarakatan dari BAPAS Klas 1 Malang dengan pertimbangan Majelis Hakim yang memberatkan yakni para terdakwa secara bertubi-tubi melakukan kekerasan terhadap korban sehingga merupakan tujuan dari perbuatan yang senagaja dilakukan. Kemudian dalam Putusan Nomor : 144/Pid. Sus/2014/ PN. Mlg, Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 5 (lima) bulan terhadap Terdakwa berinisial AAS dengan pertimbangan Majelis Hakim yang memberatkan terdakwa yakni perbuatan terdakwa membahayakan nyawa korban dengan cara menusukan potongan bambu ke mata kiri korban sehingga mengakibatkan korban cacat kebutaan pada mata bagian kiri.[6]

Dalam menjatuhkan putusan kepada setiap terdakwa, hakim wajib mempertimbangkan beberapa hal yang salah satunya adalah sifat baik atau jahatnya terdakwa.[7] Suatu keadaan yang memberatkan dan meringankan hukuman tersebut merupakan kewajiban hakim dalam menentukan berat ringannya suatu vonis hukuman.[8]  Keadaan memberatkan dan meringankan berfungsi untuk menentukan variasi dari tindak pidana. Beberapa pertimbangan pemberatan tindak pidana dapat dilihat dari tingkat keseriusan tindak pidanya atau tingkat bahaya yang ditimbulkan dari tindak pidananya seperti perbuatan terdakwa sadis, keji, dan tidak berperikemanusiaan atau perbuatan terdakwa dilakukan berulang kali atau terdakwa mengulangi tindak pidananya.[9] Sedangkan keadaan yang meringankan dapat dilihat dari tindak pidananya berdasarkan pada pengurangan tingkat keseriusan dari tindak pidananya atau ancaman bahaya dari pelakunya seperti terdakwa berlaku sopan, terdakwa masih berusia muda, terdakwa aktif memberikan pertolongan kepada korban, atau mengakui dan menyesali perbuatannya.[10]

Dari perbedaan kedua putusan tersebut, maka pada faktanya dapat dipertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas putusan hakim. (1) sistem hukum indonesia menganut sistem eropa kontinental (civil law system) yang mana menititk beratkan pada aturan Undang-Undang dan berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon yang menititberatkan hukum pada keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang sama (yurisprudensi) sehingga patut apabila terjadinya dispartitas putusan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. (2) ketentuan minimal pidana dalam setiap undang-undangnya berbeda satu dengan lainnya sehingga layak apabila terjadi disparitas putusan hakim. (3) faktor yang bersumber dari hakim itu sendiri seperti perbedaan ideologi atau kepribadian hakim yang beragam dalam melihat nilai-nilai dasar falsafah penghukuman. Selain itu juga hakim juga memiliki kebebasan yang luas untuk memutus pidana yang dikehendaki. (4) tidak adanya panduan bersama hakim dalam menjaga atau mengurangi terjadinya disparitas putusan hakim.[11]

Dengan segala penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara normatif disparitas putusan hakim tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang karena Hakim memiliki independensi dalam memutus setiap perkara. Selain itu dalam menjatuhkan putusan kepada setiap terdakwa, hakim wajib mempertimbangkan beberapa hal yang salah satunya adalah sifat baik atau jahatnya terdakwa sehingga tidak ada pertentangan norma apabila terjadi disparitas putusan hakim. Hanya saja apabila disparitas putusan hakim ini dibahas dalam perspektif sosiologis akan menjadi suatu kesan terhadap publik bahwa rasa keadilan yang ada ditengah masyarakat sudah hilang sehingga akan membuat publik merasa ragu terhadap setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Maka dari itu alangkah lebih baik apabila disparitas putusan hakim ini dapat diatasi dengan cara melalui pembentukan panduan pemidanaan bersama  dalam bentuk PERMA maupun SEMA. Sehingga setiap hakim kemudian akan memiliki konsistensi dalam memutus perkara yang ditanganinya.(*)

(*)Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Pertama pada Bapas Kelas I Yogyakarta

[12]

 

 

[1] Lihat Arti Kata Keroyok Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

[2] R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Dengan Pasal-Pasalnya. Bogor : Politeia. Halaman 146-147

[3] Lihat arti kata adil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

[4] Abdurrachman, Hamidah dkk. 2020. Palu Hakim Versus Keadilan Sebuah Pengantar Disparitas Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Deepublish CV Budi Utama. Halaman 12

[5] Ibid. Abdurrachman, Hamidah dkk. 2020. halaman 14

[6] Sarah Vanessa Bona Putri Naibaho dan R.B. Sularto Purwoto. 2016. Disparitas Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Putusan No. 131/Pid.sus/2013/PN.MLG dan Putusan No. 144/Pid.sus/2014/PN.MLG). Diponegoro Law Review. 5 (2). Halaman 16-17

[7] Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman

[8] Lihat Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana

[9] Hananta, D. (2018). Pertimbangan Keadaan-Keadaan Meringankan Dan Memberatkan Dalam Penjatuhan Pidana/Aggravating And Mitigating Circumstances Consideration On Sentencing. Jurnal Hukum dan Peradilan, 7(1), Halaman 92-94

[10] Ibid. Hananta, D. (2018). halaman 97

[11] Tama S. Langkun dkk. 2014. Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesian Corruption Watch. Halaman 30-42

[12] Op. Cit. Abdurrachman, Hamidah dkk. 2020. Halaman 83

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com