Kultur Pemaafan Dalam Restorative Justice

Oleh : Farid E. Susanta

Dalam dasawarsa terakhir ini, wacana tentang restorative justice (keadilan restoratif) telah menjadi arus utama dalam pembahasan sistem peradilan pidana. Pembahasan tentangnya, banyak dimunculkan sebagai  respon negatif terhadap sistem peradilan modern yang berpusat dan diatur oleh negara, yang dianggap tidak efektif dalam memulihkan hubungan baik antara korban dan pelaku, atau hubungan sosial dengan lingkungannya.  Walaupun secara luas, sejak tahun 1980-an keadilan restoratif telah banyak dijadikan model alternatif penyelesaian kasus pidana , namun dalam sistem peradilan kita diskurus restorative justice baru menghangat ketika negara meluncurkan UU. No. 11 tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Hingga saat inipun, keadilan restoratif masih belum sepenuhnya menemukan bentuknya di kalangan Aparat Penegak Hukum (APH). Banyak silang pendapat di antara APH sendiri untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ditanganinya. Kalaupun ada, vested interestnya  kadang masih lebih menonjol dibanding semangatnya untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak melalui pemulihan (restorative)  hubungan baik diantara pihak-pihak yang berkonflik.

Bibit-bibit restoratif sebenarnya telah mengakar lama dalam sistem budaya setiap bangsa. Pada masyarakat-masyarakat tradisional, sebelum munculnya sistem peradilan modern, masyarakat telah mengenal hukum adat. Dalam hukum adat yang berbasis komunitas inilah, banyak komunitas budaya yang lebih mementingkan keseimbangan. Untuk memulihkan keseimbangan sosial, masing-masing individu dituntut untuk saling memelihara agar keseimbangan tetap harmonis. Bila terjadi kejahatan di antara mereka, maka keseimbangan ini bak mendapatkan luka. Untuk itulah secara bersama-sama, biasanya warga kemudian mengadakan pertemuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terluka tersebut.

Mekanisme penyelesaian konflik seperti tersebut, umum terjadi dalam masyarakat kita. Setiap kali penulis melakukan penelitian kemasyarakatan, menemukan realitas budaya bahwa dalam banyak kelompok sosial-budaya, selalu ada mekanisme penyelesaian konflik melalui kelompok sosial/adat, RT, RW, dusun dst, sebelum akhirnya dimajukan  ke ranah formal. Barangkali inilah yang  secara tidak sadar masyarakat telah mengutamakan ultimum remidium, pemenjaraan adalah upaya terakhir.

Berbasis kultur agung inilah kemudian negara mencoba memfasilitasi dan memformalkan kultur maaf-memaafkan ini. Bukankah dalam masyarakat kita, setiap tahun kita lebih dari satu kali selalu ada maaf-memaaafkan dalam  momen hari-hari besar keagamaan? Saking seringnya budaya Islam itu kita lalui, kita bahkan tidak pernah memikirkan makna hakiki dari peristiwa maaf-memaafkan tersebut.  Hanya saja dalam kontek restorative justice, bentuk pola maaf-memaafkan ini perlu dicari formulanya agar menghasilkan bentuk keadilan restoratif yang benar-benar idial.

Dalam perspektif keadilan restoratif maaf-memaafkan setidaknya dapat mewujud dalam bentuk  adanya permintaan maaf namun tanpa pemberian maaf,  tanpa permintaan maaf tetapi ada pemaafan, dan ada permintaan maaf dan pemaafan serta tanpa permintaan maaf maupun pemaafan. Dari keempat varian tersebut variasi ketiga, yakni adanya permintaan maaf dari pelaku dan pemberian maaf dari korban, merupakan variasi yang paling ideal dalam kontek keadilan restoratif.

Dalam kasus-kasus tawuran antar kampung yang senantiasa terulang misalnya, barangkali diantara mereka tidak pernah ada permintaan maaf dan pemberian maaf. Atau ketika mereka dipertemukan oleh aparat berwenang (negara) dalam bentuk mediasi, tidak ada saling ketulusan. Akhirnya di antara mereka masih ada dendam laten berkepanjangan. Emosi  akan sangat mudah tersulut ketika suatu saat timbul masalah, meskipun  persoalan yang sangat remeh atau kecil. Diperlukan syarat-syarat khusus, sehingga sebuah kasus pidana (pelanggaran) dapat selesai melalui restorative justice yang ideal. Pola ketiga, yakni permintaan maaf dan pemberian maaf merupakan syarat minimal yang harus ada dalam proses hukum restoratif.

Baqir Manan, salah satu maestro hukum pidana pernah mengemukakan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk untuk menggapai adanya ketertiban dan perdamian dalam masyarakat. Kalau dengan langkah-langkah non hukum sudah tercapai, berarti sebagian tujuan pemidanaan sudah terpenuhi. 

Dalam konteks cita-cita keadilan restoratif ini sudah  selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya bila sebuah “karya budaya” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar formil dalam setiap penanganan perkara pidana.  Pendekatan ini akan lebih mengedepankan  rasa keadilan bagi masyarakat, lebih  humanis dan cenderung lebih luwes ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Substansi hukum yang dicari dalam sebuah proses penyelesaian konflik pidana pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum das Sein semata, sama seperti pepatah hukum populer yang dipakai para pejuang hukum “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan. Statemen demikian tampaknya masih jauh dari asa, harus ada kemauan untuk  mengubah mind set para pelaku hukum. Desmon Tutu pernah bilang bahwa saling memaafkan memang perlu, namun tidak untuk melupakan pelanggaran yang terjadi. Sebab, jika melupakan begitu saja artinya memberi kesempatan kepada pelaku  kelak untuk mengulang kembali perbuatannya.(*)

*Penulis PK BAPAS Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com