Syariat puasa pada dasarnya memberikan manfaat secara langsung bagi manusia, baik manfaat secara fisik maupus secara psikologi. Manfaat secara fisik adalah bahwa puasa itu menyehatkan dan dalam dunia kedokteran sangat dianjurkan, contohnya ketika sesorang akan menjalankan tindakan operasi disarankan untuk berpuasa. Sedangkan dari sisi psikologi, manfaat puasa adalah mengantarkan seseorang untuk berlatih menahan diri agar tidak terbawa emosi, bersikap sabar dan senantiasa taat aturan.
Puasa sebagai salah satu kewajiban ummat Islam, puasa merupakan perintah langsung dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dan termasuk kepada Nabi-Nabi terdahulu sebelum Rasulullah Saw, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang tercantum dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Puasa Nabi-Nabi terdahulu dalam melaksanakan puasa bermacam cara dan bentuknya, puasanya sangat berat, contohnya adalah puasanya Nabi Daud diwajibkan berpuasa seumur hidup dengan cara setiap dua hari sekali berselang seling. Maryam Ibunda Nabi Isa melaksanakan puasa wajib dengan selain menahan makan dan minum juga puasa bicara. Nabi Adam berpuasa tiga hari setiap bulan sepanjang tahun. Nabi Nuh berpuasa setahun penuh kecuali dua hari raya. Nabi Musa, Nabi Yunus, Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf pun berpuasa dengan tujuan mendekatkan diri kepada sang pencipta yaitu Allah Swt.
Puasa adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Allah Swt, hal ini sesuai dengan firmanNya dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 183 yang Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Ada tiga terminologi yang sering dibahas setiap datangnya bulan suci Ramadhan yaitu, Puasa, Al Qur’an, dan Taqwa. Kita ketahui bahwa puasa Ramadhan selain berupa kewajiban yang harus dijalankan juga banyak hikmah di dalamnya, sehingga setiap waktu harus dimanfaatkan untuk beribadah, karena ibadah yang dijalankan akan dilipat gandakan pahalanya, setiap doa-doa yang dipanjatkan akan mudah dikabulkan serta pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, artinya bahwa ummat Islam untuk senantiasa berbuat kebajikan guna meningkatkan amal ibadah dengan mengharap ridla Allah Swt serta masuk surga.
Puasa juga melatih pola dan kebiasaan, pola untuk hidup sehat dan teratur. Kebiasaan disiplin, tepat waktu. Dengan pola dan kebiasaan yang terbentuk selama proses latihan selama bulan Ramadhan, harapannya akan terbawa pasca Ramadhan dengan baik, walaupun pola dan kebiasaan tersebut kecendrungannya dipaksakan akan tetapi berdampak positif sehingga kebiasaan tersebut yang akan mengatur pola kehidupan kita.
Di bulan suci Ramadhan Al Qur’an diturunkan, Al Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang memiliki dimensi dunia dan akhirat, sehingga pada bulan suci ini banyak dimanfaatkan untuk mengkaji Al Qur’an, sehingga bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu kita ketahui bahwa Al Qur’an turun dua kali. Pertama, Al Qur’an turun sekaligus yaitu 30 Juz ke langit dunia yang disebut Baitul Ma’mur. Kedua, Al Qur’an turun secara bertahap ke bumi, diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, di mulai pada tanggal 17 Ramadhan, yang sering kita periingati sebagai Nuzulul Qur’an, bulan turunnya Al Qur’an.
Turunnya Al Qur’an mengisaratkan bahwa petunjuk Allah Swt untuk hidup dijalan yang lurus, karena Al Qur’an merupakan pedoman hidup manusia untuk membimbing ke hal yang baik, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Oleh karena itu Al Qur’an selain dibaca juga harus dipelajari untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bulan puasa merupakan bulan yang dimanfaatkan secara individu dengan meningkatkan spiritualitas kita. Momentum membangun kesalehan spiritual, karena dengan melaksanakan ibadah puasa merupakan bagian dari bentuk ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt yang harus dijalankan dengan dasar keimanan.
Memaknai puasa tidak hanya secara syar’i yaitu menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa saja, akan tetapi kita bisa memaknai lebih jauh lagi yaitu merasakan secara fisik bagaimana orang yang kurang mampu secara ekonomi manahan rasa lapar ketika belum makan, sehingga memunculkan rasa empeti yang berimbas pada peningkatan rasa syukur dan kepedulian terhadap sesama.
Tujuan puasa adalah mencapai derajat taqwa. Taqwa secara bahasa arab, berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat, maksudnya adalah waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Hal ini mengandung arti bahwa esensi taqwa yaitu tidak hanya membahas soal ibadah ritual saja, akan tetapi juga mengaplikasikan persoalan muamalah, bergaul dan mengajarkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan antar sesama manusia dengan mengharap ridlo Allah Swt.
Taqwa berorientasi untuk mencegah manusia dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt, karena takut akan dosa dan azab Allah Swt. Oleh karena itu, bagi orang yang dapat menjalankannya akan mulia di sisi Allah Swt, sesuai dengan firmanNya “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13).
Karakter orang bertaqwa telah digambarkan dalam Al Qur’an, terdapat dalam surat Al Baqarah Ayat 2 sampai dengan 4. Karakter orang bertaqwa di antaranya adalah menafkahkan sebagian rizqinya.
Dalam bulan Ramadhan ini dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dalam bentuk sosial, dengan melatih kesalehan sosial diharapkan fakir miskin dapat merasakan kepedulian yang disalurkan oleh kaum berada atau orang mampu secara finansial.
Membangun kesalehan sosial perlu dilatih sejak dini, artinya melatih rasa peduli bagi sesama harus diajarkan dari anak-anak, tujuanna adalah kelak jika sudah dewasa akan terbiasa membantu antar sesama. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan dan dibangun oleh individu maupun kelompok atau organisasi, dalam hal ini adalah instansi, dengan tujuan mengorganisir untuk membantu sesama.
Membangun keslehan spiritual dan kesalehan sosial harus secara bersama-sama, tidak dipisahkan, jika tidak beriringan maka akan timpang, karena implentasi kesalehan spiritual adalah dalam bentuk sosial, sedangkan kesalehan sosial bagian dari ajaran agama secara spiritual. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 3 “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Dalam konteks ayat di atas sudah sangat jalas, bahwa antara kesalehan spiritual/individual dan kesalehan sosial tidak dipisahkan, Allah Swt memerintahkan untuk mendirikan shalat (kesalehan spiritual) kemudian memerintahkan untuk menafkahkan sebagian hartanya (kesalehan sosial). Kedua karakter tersebut merupakan bagian dari ciri-ciri orang bertaqwa.
Semoga di bulan suci Ramadhan ini, kita dapat membangun kesalehan spiritual sekaligus kesalehan sosial demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, dan muaranya adalah konsisten di bulan-bulan selain Ramadhan, kita dituntut untuk tetap semangat melakukan akativitas spiritual dan sosial demi kemajuan ummat dan bangsa.
(*)
*Mukharom adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dan Pengurus Masjid Al Hasyim Kota Semarang