Oleh: Saiful Fawait*
“SUNGGUH, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
Tidak bisa dibantah dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa manusia merupakan mahkluk Tuhan yang paling istimewa dan paling sempurna. Hal tersebut telah diakui oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam al-Qur’an surah at-Tin: 4 di atas. Bahkan tidak hanya itu, manusia juga mendapat legitimasi kemuliaan dari penciptanya, sebagaimana bunyi al-Qur’an “Sungguh, Kami muliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70)
Namun, tak sembarang orang mendapatkan predikat “mulia”. Kemuliaan ini hanya untuk mereka yang menfungsikan akal sehatnya, sehingga mereka selalu meng-iakan perintah pencipta-Nya dan menghindar dari murka-Nya. Akan tetapi untuk mewujudkan itu semua, manusia tak semudah membolak-balikkan telapak tangan, mereka membutuhkan kerja keras untuk menaklukkan hawa nafsu yang bersemayam dalam jiwa manusia yang selalu mengajaknya ke jalan kesesatan.
Allah memang sengaja menciptakan akal dan hawa nafsu dalam diri manusia, karena dengan keduanya manusia memiliki peluang untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi di atas derajat para Malaikat. Keduanya bagaikan sayap yang akan membawa derajat manusia terbang melampaui derajat Malaikat. Namun, dengan keduanya pula manusia bisa terjerumus ke dalam jurang kehiaan yang lebih rendah daripada hewan yang tak berakal.
Oleh karena itu, kita harus selalu menjaga akal dan jiwa kita agar tidak mudah terasuki bisikan-bisikan manis nafsu yang siap menyergap saat diri kita lengah, agar kita tidak menjadi orang yang celaka, baik di dunia ataupun di akhirat kelak.
Nafsu bagaikan singa lapar di tengah padang pasir yang siap mengcengkeram dan mencabik-cabik apapun yang ada di depannya. Ia tidak akan memberikan manfaat, bahkan ia hanya akan merugikan. Nafsu akan selalu mengajak manusia kepada hal-hal yang enak dan nikmat menurut pandangan manusia namun tidak pernah diridhai oleh syara’. Hal ini dapat kita lihat dari larangan Tuhan kepada manusia untuk tidak mendekati zina, sebagaimana firman-Nya, “Jangan kau dekati zina”. Zina (jima’) adalah perbuatan yang amat sangat disukai oleh manusia pada umumnya. Namun, hal tersebut sangat ditentang oleh Islam.
Larangan Tuhan di atas memberikan pemahaman kepada manusia bahwa nafsu adalah musuh terbesar dan terkuat bagi mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh nabi Muhammad Saw. kepada para sahabat saat mereka kalah dalam perang Uhud. Beliau bersabda bahwa perang Uhud itu merupakan perang kecil dibandingkan dengan memerangi nafsu kita. Oleh sebab itu, kita harus bisa menaklukkan nafsu jika kita ingin hidup dengan selamat.
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa nafsu dapat ditaklukkan dengan perut yang lapar. Karena perut merupakan sumber utama nafsu dan penyebab berbagai kerusakan. Ketika perut kenyang, maka nafsu berpotensi untuk bangkit. Mulai dari nafsu seks dan hasrat kuat terhadap wanita, lalu disusul dengan nafsu makan yang mengarah pada sifat rakus terhadap ketenaran dan kekayaan. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan. Lalu muncullah sifat angkuh, rasa dengki dan kesombongan yang ujung-ujungnya berakhir dengan permusuhan, (hal. 172). Dan keadaan itulah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, para petinggi negara hanya memikirkan isi perut tanpa peduli kepada rakyatnya. Sehingga makan uang negara itu sudah menjadi sebuah ‘kewajiban’.
Inilah akibat dari kenyangnya perut yang memang mewariskan hal-hal yang bersifat negatif, jika seseorang mau melumpuhkan nafsunya dengan rasa lapar maka dia akan memperoleh kemudahan untuk sampai kepada Allah Swt. Karena ketika perut kita kosong, maka nafsu syahwat kita akan ikut kosong. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad yang memerintahkan sahabat untuk berpuasa ketika mereka ingin menikah akan tetapi mereka tidak mampu membayar mahar dan menafkahi keluarganya. Dari perintah nabi itu, sudah jelas bahwa perut kosong dapat menaklukkan nafsu.
Selain itu, perut kosong juga akan menyelamatkan seseorang dari kemungkinan tenggelamnya ke dalam kemegahan dunia dan bisa mencegah seseorang untuk tidak terperosok ke dalam cinta buta terhadap harta benda duniawi.
Dalam buku yang berjudul Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, yang merupakan terjemahan dari kitab Ihya’ Ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali, dan diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti dengan judul “Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalam Perspektif Sufistik”, ini juga dijelaskan bahwa ada sepuluh manfaat ketika kita mampu menahan rasa lapar, dalam artian perut kita tidak terlalu kenyang yang sampai melampaui batas kewajaran. Di antaranya adalah menyucikan hati, menerangi naluri dan menajamkan kecerdasan. Seorang anak yang banyak makan, kemungkinan akan berisiko terhadap lemahnya daya ingat dan menyebabkan rusaknya kecerdasan, sehingga dia akan tumbuh menjadi orang yang lamban dalam berpikir. Karena rasa lapar itu memang mencipta kebodohan, membutakan hati, serta memperbanyak uap air di dalam otak yang dapat menutupi pemikiran sehingga hati kesulitan dalam memahami segala sesuatu dengan cepat, (hal. 183)
Selain itu, rasa kenyang dapat membuat mata kita selalu mengantuk, orang yang perutnya tidak lapar akan mudah memejamkan mata, dan tertidur dengan pulas. Sehingga hal ini dapat berakibat terhadap tertundanya ibadah kita kepada Allah.
Namun, menahan lapar akan terasa berat bagi orang yang terbiasa banyak makan. Ketika kita sudah terbiasa mengisi perut saat mulai keroncongan, maka menunda sesaat saja untuk tidak makan itu hal yang menyusahkan. Bahkan—bisa jadi—hal ini akan berakibat terhadap ketidak-stabilan kondisi tubuh kita, kemungkinan tubuh akan melemah atau bahkan bisa saja jatuh sakit.
Oleh karena itu, sebaiknya kita menjalaninya dengan bertahap, bukan dengan cara yang langsung dalam seketika. Bertahap di sini adalah mengurangi porsi makanan kita sedikit demi sedikit, sehingga perut kita bisa beradaptasi dengan baik. Hingga akhirnya perut kita bisa kenyang dengan makanan yang sedikit, (halaman 198).
Buku terbitan Mizan Pustaka ini tidak hanya membahas tentang bagaimana cara menaklukkan nafsu, akan tetapi di dalamnya juga dijelaskan beberapa metode untuk mendidik anak dan mengobati penyakit hati versi kaum sufi. Ratusan referensi dan indeks umum yang diletakkkan di bagian belakang menambah kekomplitan buku setebal 344 halaman ini.
Walaupun buku terjemahan, penerjemah berusaha menguraikannya dengan bahasa yang ringan dan runtut, agar pembaca tidak mengalami kekaburan dalam memahami isi buku ini. Jadi, buku ini tidak hanya cocok dibaca oleh orang-orang dewasa yang ingin menyelami dunia para sufi, tetapi anak-anak Sekolah Dasar pun bisa memahami isi buku ini, atau bahkan mengamalkannya. Siapapun yang mampu mengamalkan isinya, dia—dengan idzin-Nya—akan menemukan ketenangan dan ketenteraman dalam menjalani hidup. Semoga!!!
DATA BUKU
Judul Asli: Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire (Edisi Inggris)
Judul Terjemahan: Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalam Perspektif Sufistik
Penulis : Al-Gazhali
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : 2014
ISBN : 978-979-433-815-5
Tebal : 344 halaman
*) Presensi adalah Pemred Majalah Infitah MA Tahfidh Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep