Perempuan dalam Pengisahan Kitab Suci

Oleh      : Wahyudi Kaha*

Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan merajut harmoni dalam kehidupan. Kesejahteraan sosial bakal omong kosong bila abai pada posisi perempuan. Begitu pula sebaliknya, upaya penyejahteraan sosial bisa menemui kebuntuan bila tanpa singsingan lengan baju kaum laki-laki. Singkatnya, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memegang peranan penting bagi tumbuh-kembangnya perdaban yang lebih baik.

Peranan perempuan tidak melulu berkisar seputar ‘ranjang’. Sebab perempuan juga sanggup menciptakan pengaruh dalam menentukan cara pandang. Adagium lama yang berbunyi: selalu ada perempuan istimewa di balik kesusksesan sorang pria, tidak berarti bahwa perempuan berada satu langkah di balik barisan kaum lelaki. Justru perempuan menjadi alasan, menjadi sebab bagi sukses dan atau gagalnya keputusan-keputusan penting. Begitu pentingnya kehadiran perempuan dalam menentukan laju kehidupan. “Revolusi,” seperti tersirat dalam sebuah sajak WS Rendra, “akan macet tanpa perempuan.”

Tidak terkecuali suksesi misi revolusi sosial-keagamaan nabi-nabi panutan juga tidak bisa lepas dari pengaruh perempuan. Buku Perempuan-Perempuan Al-Qur’an: Kisah Nyata Wanita yang Diabadikan Kitab Suci yang merupakan terjemahan dari kitab Nisa’ Fi Hayat al-Anbiya’ (Perempuan dalam Kehidupan Nabi-Nabi) karya Fathi Fawzi Abdul Mu’thi ini menjelaskan demikian besarnya peranan perempuan dalam kehidupan nabi-nabi. Yaitu mereka yang mengikrarkan keimanan, meneguhkan perjuangan, serta memutikkan sari harapan bersama nabi demi merengkuh kebenaran sejati.

Secara sistematis, buku ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama mencatat empat belas nama perempuan dengan beragam watak dan karakternya. Masing-masing telah menorehkan sejarah penting dalam kehidupan para nabi dan rasul sebelum Muhammad saw. Diantaranya ada Siti Hawwa, istri terkasih Nabi Adam, Ibunda semua manusia. Ada juga Sarah, Hajar al-Mishriyah, Rahmah, Shafurah, Yokabed, Elisabet, Maryam, Asiyah, Zulaikha, Balqis, hingga istri Nuh a.s. dan istri Luth a.s. yang keduanya terjerumus ke dalam lubang kesesatan.

Sedangkan bagian dua mengisahkan perempuan-perempuan di balik turunnya ayat-ayat suci al-Qur’an.  Hal ini menunjukkan adanya perhatian khusus al-Qur’an terhadap kaum perempuan. Di sana abadi nama Ummul Mukminin Zainab bint Jahsy, Ummul Mukminin Aisyah bint Abu Bakar, Ummul Mukminin Hafsah bint Umar, Ummu Kaltsum bint Aqabah, hingga Khaulah bint Tsa’labah yang sempat menggugat Rasulullah. Diabadikannya nama-nama perempuan-perempuan dalam al-Qur’an tersebut tidak lain agar menjadi cerminan bagi umat manusia di masa mendatang. Agar dari sana manusia sanggup memetik pelajaran.

Mengenai Hajar al-Mishiriyyah, misalnya, Fathi Fawzi Abdul Mu’thi mengungkap siapa jati dirinya yang sebenarnya? Bagaimana Hajar kelak menjadi simbol atas kesetiaan dan pengorbanan cinta Ilahiyah? Hajar merelakan putra kesayangnya Ismail untuk disembelih suaminya sendiri, sesuai perintah (cobaan) Allah. Publik pembaca barangkali sudah tahu bahwa  Hajar adalah istri Nabi Ibrahim a.s. sekaligus Ibunda Nabi Ismail a.s..

Tetapi tidak banyak yang tahu bahwa sejatinya Hajar adalah putri kesayangan salah seorang pembesar Memphis, ibu kota kerajaan Mesir Kuno. Hajar menjadi tahanan musuh setelah pasukan Hexos menyerang Mesir sampai lumpuh. Hajar justru mendapatkan hidayah setelah pertemuan dalam penjara dengan Sarah, istri Nabi Ibrahim a.s. Hajar juga berperan penting dalam kerja mendirikan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail.

Besarnya cinta Hajar kepada Allah tidak pernah sia-sia. Lewat limpahan mukjizat kepada Ismail, Allah telah membebasakan Hajar dari kehausan tak terkira di padang sahara. Allah pula yang menumpulkan pedang Nabi Ibrahim a.s. saat hendak menyembelih Ismail, lalu menggantinya dengan domba. Sampai maut kelak menemui Hajar dengan lembut dan santun di punggung Ka’bah. (hlm. 54-71)

Kisah yang tidak kalah menarik dalam buku ini adalah mengenai Khaulat bint Tsa’labah. Suaminya, Aus bin al-Shamit, menikahinya dalam keterpautan usia yang cukup jauh. Namun mereka tetap hidup dalam kebahagian sebab saling cinta dan kasih sayang. Kebahagian mereka diperlengkap dengan hadirnya si buah hati, al-Rabi’. 

Pada suatu waktu, badai kehidupan datang menghantam. Bahtera keluarga mereka oleng. Pertengkaran tak terelakkan. Semakin lama semakin meruncing. Masing-masing tak mau kalah, juga tak mau mengalah. Suara meninggi, keributan semakin menjadi. Setan tertawa karena berhasil memperdaya hati dan pikiran mereka. Aus benar-benar tak dapat mengontrol emosinya. Dari bibirnya yang agak gemetar, kata-kata kasar keluar, “Wahai Khaulah, engkau bagiku bagai punggung ibuku.” Mendapatkan zhihar, Khaulah bagai disambar petir. Hatinya remuk saat sadar bahwa zhihar hukumnya sama dengan talak di zaman Jahiliyah.

Maka ketika Aus pulang setelah menenangkan pikirannya, Khaulah dengan tegas menolak rayuan bercinta dari Aus, bapak kandung dari anaknya. Secara naluriah Khaula memang mencitai Aus, tetapi kadar cinta itu tidak lebih besar dibanding ketakwaannya kepada Allah. Aus tetap merayunya, mengaku salah, lalu menjelaskan bahwa zhihar yang dikatakannya barusan tidak disertai unsur kesengajaan. Aus setengah memaksa mencoba berkilah, dikatakannya zaman Jahiliyah selesai sudah. Tetapi Khaulah tetap tidak mau gegabah. Ditemuinya Rasullah, sebaik-baiknya manusia dalam mendiskusikan masalah.

Jawaban Rasulullah benar-benar menguatkan hati sekaligus menyedihkan Khaulah. Zhihar telah membuat dirinya haram bagi Aus. Tembok yang selama ini dijadikan sandaran seakan telah runtuh.

Kisah duka keluarga Aus-Khaulah ini yang menyebabkan turunnya surah al-Mujadilah: 2-4. Agar bisa menjadi pasangan suami-istri, Aus wajib memerdekakan seorang budak. Bila tidak mampu, maka wajib baginya berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Bila yang demikian juga tidak kuasa, maka pilihan ketiga adalah memberi makan enam puluh orang miskin.

Sungguh sayang, Aus bukan berasal dari keluarga kaya. Jangankan memberi makan enam puluh orang miskin, untuk makan keluarganya sendiri sehari-hari tidak cukup. Maka Rasulullah saw. Bersabda, “Kalau begitu, kaluarkan satu wasaq kurma, dan sedekahkan kepada enam puluh orang miskin.” (hlm. 376-384)

Selalu ada hikmah dan pelajaran di setiap kejadian.  Setidaknya kesan itulah yang didapatkan setelah membaca buku ini. Diolah dari data-data historis beserta riwayat terpercaya  dengan Kitab Suci al-Qur’an sebagai rujukan utamanya, sedangkan Kitab Perjanjian Lama (Taurat) dan Kitab Perjanjian Baru (Injil) menjadi pembandingnya, membuat buku ini tidak hanya kaya data langka, tetapi juga sarat dengan hikmah dalam bingkai makna. Pilihan gaya bahasa liris disertai dialog-dialog yang hidup membuat buku berlatar sejarah ini tidak jatuh membosankan. Sejatinya ada banyak pelajaran kehidupan penting yang bisa direfleksikan dari kisah-kisah perempuan-perempuan yang dimulikan maupun yang dihinakan di dalam al-Qu’an. Selamat membaca! (*)

DATA BUKU

Judul                     : Perempuan-Perempuan Al-Quran
Penulis                 : Fathi Fawzi Abdul Mu’thi
Penerjemah       : K.H. Asy’ari Khatib
Penerbit              : Zaman, Jakarta
Cetakan               : I, 2015
Tebal                     : 416 halaman
ISBN                      : 978-602-1687-62-8

 

*Presensi adalah penulis lepas, bergiat di Lingkaran Metalogi Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com