Sebuah Kenangan dan Tantangan Hidup

Oleh: Moh. Tamimi*

“Terbuat dari apakah kenangan? Aku tidak ingin mengingat sesuatu, tapi ada suatu kenangan yang selalu kembali.” (Seno Gumira Ajidarma)

Melupakan sesuatu yang telah menancap erat dalam pikiran memang tidaklah mudah. Cukup sedetik membuat kenangan indah, namun dibutuhkan bertahun-tahun untuk melupakan. Orang yang pintar adalah orang yang mampu mengingat, juga mampu melupakan.

Jingga adalah pendiri media online memorabilia. Media tersebut membantu orang-orang yang ingin melupakan sesuatu dengan cara menjualkan barang-barang yang membuat teringat kepada kenangan pedih, pahit, luka, lara dan sebagainya kepada orang yang tepat, bukan kepada siapa yang menawar paling tinggi.

Layaknya sebuah bisnis, mempunyai masa jaya maupun masa jatuhnya. Hal itulah yang dirasakan Jingga dan partner lainnya. Setelah mengalami masa kejayaan, pembaca memorabilia semakin menyusut. Oleh karena itu, perusahan yang memercayakan produknya untuk diiklankan di media tersebut akan menghentikan kerja samanya jika jumlah pembaca masih tetap sedikit.

Bersamaan dengan hal tersebut, hadir pak Pramodya menawarkan proyek besar terhadap memorabilia, beliau percaya kepada memorabilia karena mempunya visi-misi yang sepaham dengan memorabilia: bukan seberapa banyak uang yang diberikan, melainkan seberapa pantas orang tersebut memilikinya.

Akan tetapi, yang terjadi pada diri Jingga bukanlah sebuah kebahagian, ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya saat mengetahui bahwa gedung bioskop itu akan dijual, sebagaimana ditawarkan pak Pram. Ada rasa tak rela. Gedung itu mempunyai kenangan tersendiri bagi Jingga, semua teman-temannya tidak tahu akan hal ini. Kejadian saat ia masih duduk di bangku SD kelas empat, masih terasa mengawang-awang si sepan matanya.

Bapak-ibunya, tak kembali lagi mencium keningnya, saat menonton Daun di Atas Bantal  di Bioskop Bahagia Theatet. Mereka meninggal di tempat tersebut karena mempertahankan diri dari kekejaman perampok saat berada di depan Gedung Bioskop Bahagia Theater. Saat itu masih belum ada satpam menjaga keamaanan gedung, hanya dalam Gedung yang terdapat satpam.

Jingga tak tahu harus bahagia atau sedih ketika melihat gedung itu. Bahagia karena di gedung itu ia merasakan terakhir kalinya kebersamaan dengan orang tuanya, terakhir kalinya orang tuanya menciumnya. Harus sedih karena tempat itu pulalah tempat kematian ibu-bapaknya. Ia ingin melupakannya, namun tak pernah bisa. Bertolak belakang dari pengalaman pahit-lah ia ingin membantu orang lain untuk melupakan kenangan pahit. Sesuai kata pepatah, kesedihan yang dibagian kepada orang lain, maka kesedihan itu akan hilang separuh.

Jingga teringat kata tantenya: “kalau semua kenangan disimpan, itu hanya akan bikin gudang penuh dan hati ringkih. Hati ini sudah ringkih, Jingga. Buat apa ditambah beban lagi?” (hlm. 174)

Akhirnya, dengan berbagai tantangan, Jingga dapat berdamai dengan dirinya.

novel dengan alur yang mengalir indah ini, dengan berbagai kisah kehidupan di dalamnya, mengajarkan kita bukan sekedar untuk melupakan, melainkan juga menerima. Paling tidak, kata melepaskan lebih cocok daripada melupakan. (*)

Data Buku:

Judul: Memorabilia

Penulish: Sheva

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: I, Maret 2016

Tebal: vi+294 halaman

ISBN: 978-602-291-124-1

 

*Presensi adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com