Semalam saya menyimak debat yang tidak live dan tidak viral tapi berbobot dari teman-teman mahasiswa. Ceritanya, sehabis demo yang tak anarkis di bundaran UGM, sebagian pada ngopi-ngopi di sebuah angkringan tak jauh dari Alun Alun Kidul (Selatan) Kraton Ngayugyakarta Hadiningrat.
Lalu mereka bahaslah soal aksi. Rata-rata pada penasaran kok aksi hari ini “gembos”? Kemudian analisis pun bermunculan.
Hipotesis pertama, apakah karena aksi 25 sampai 30 Agustus 2025 kemarin anarkis, karena ditunggangi provokator? Ya, sebagian sepakat itu sebabnya.
Sebagai orang yang juga mempelajari ilmu bahasa, saya coba mengingatkan teman-teman: coba kaji lagi apa arti “Anarkis”, “Repsesif” dan “Brutal”.
Saya cuman memantik nalar intelektual tema-teman sesama Aktivis mahasiswa.
Sebagai kelompok akademis mestinya tidak gagal paham dengan suatu istilah yang dinarasikan penguasa.
Seyogiyanya kita bisa mengkaji narasi, kemudian mendeskripsikan dan kemudian membangun argumentasi yang benar secara ilmiah.
“Googling deh atau pakai chat GPT apa arti Anarkis. Lalu cari juga arti Represif dan Brutal,” pinta saya kepada teman teman.
Sesaat setelah mencari, seorang kawan memaparkan pendapatnya.
Dia bilang ada istilah tabur tuai. Kalau penguasa dan aparat represif bahkan brutal maka lahirlah rakyat yang anarkis.
Aparat represif yang bahkan brutal digaji gede dan difasilitasi, dibela dan diberi penghargaan presiden lagi.
“Itu lho tadi dibesuk (Presiden). Katanya aparat khilaf maklum. Rakyat ga boleh khilaf gitu? Lha mereka digebukin massa karena mereka mukulin demonstran kok” celetuk salah seorang kawan.
“Jadi jangan salahkan rakyat anarkis dong, kalau negara dan aparatusnya brutal gitu,” ketusnya.
Salah seorang kawan lainnya menyela sembari menjelaskan:
Singkatnya, kata dia, anarkis artinya mengabaikan pemerintah dan hukum.
“Kalau negara tak menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat dan hukum tidak menegakkan keadilan, ya artinya kan negara dan hukum sudah tidak ada,” ucapnya dengan penuh penekanan.
“Bukankah tujuan Indonesia merdeka dan membentuk negara setelah dijajah itu untuk mewujudkan rakyat adil makmur?” sambung kawan lainya tak kalah bersemangat.
“Jadi kalau dipikir-pikir label demo anarkis itu pembodohan ya? Penggembosan, Betul enggak bro? Kita kok berasa sia-sia jadi mahasiwa, katanya aktivis pula. Kok bisa-bisanya dibodohin pakai narasi gitu? Ha ha ha” sergah lainnya dengan tawa lebar namun mengandung kemirisan.
Saya Cuman tersenyum, mendengar diskusi kawan-kawan.
Kali ini enggak mau jawab, tar dianggap provokator lagi, ditangkap aparat.
Bukan takut sama aparatnya, takut kena jewer mama saya. Sumpah deh, Mama tuh makhluk terkuat di bumi!
Lalu seorang kawan lainnya yang sedari tadi sibuk scrol-scrol IG di HP, tiba tiba ikut bersuara.
“Iya yah. Mana ada aksi damai bepihak kepada rakyat banyak. Yang untung ya segelintir aja dan memang pasti diatensi sih. Tapi atensi itu artinya bukan apa apa selain pakai duit, ditawarin jabatan, atau minimal pekerjaan. Contohnya Husen mantan koordinator aksi di Pati yang gembosin massa. Setelah aksi damai ketemu Bupati Sudewo, dapat duit jadi diem, bahkan balik membela” ucapnya sambil garuk kepala.
Satunya lagi menimpali dengan nada nge-jokes.
“Kalau dipikir pikir aksi massa damai yang betul ya macam sunatan atau kawinan masal. Kalau aksi damai tunggal yang paling damai ya tidur,”
Gerrr!!!! Semua tertawa. Kopi sudah habis, rokok juga habis, bakul angkringanpun sudah tampak lelah dan mau tutup.
Dalam hati saya menyimpulkan sendiri obrolan dengan kawan-kawan.
Apakah memang di negeri para Bandit ini rakyat kecil tetaplah kecil, selalu dalam posisi inferior dan kalah?
Teriakan “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan” hanyalah slogan.
Politisi dan penguasa ngomong sampai berbusa saat kampanye, katanya mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Nyatanya cuma lips service.
Memang syarat jadi politisi mesti pandai beretorika, bukan?
Sepertinya aksi-aksi mahasiswa, aksi buruh selain memanfaatkan momentum untuk eksistensi, ya cuman buat latihan orang tampil sebagai calon-calon “pemimpin” yang akan meneruskan tradisi lama.
Bagaimana tidak? Coba kita flashback, bukankan Reformasi 98 lahir karena negara dan aparatnya represif dan brutal sama rakyat yang lagi susah ekonominya?
Bukankan karena itu Rakyat dan mahasiswa kemudian aksi anarkis?
Bukankan katanya setelah reformasi demokrasi lebih baik dari zaman Orba? Banyak senior-senior pelaku reformasi juga kini duduk nikmat di kursi kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif?
Pertanyaannya, kenapa takut Reformasi Jilid 2 dan kayaknya takut dan anti banget dengan aksi anarkis?
Emangnya merasa sudah benar-benar suci dan baik, tak merasa telah membuat kebijakan yang brutal untuk rakyat?!
Ah, rupanya memang berpikir dan berbuat untuk bangsa dan negara sangat melelahkan. Pantas saja sekarang pada ramai-ramai menyerukan aksi Damai.
Kalo memang begitu, yuk kita lakukan aksi yang paling damai: TIDUR!
*Penulis adalah aktivis prodem yang gemar ngopi di Blandongan