YOGYAKARTA – Pengumaman Mentri Agama Lukman Halim Saefuddin yang menyatakan lebaran Idul Fitri jatuh pada hari Jum’at, (16/07/2015) tentunya disambut suka cita oleh umat muslim di Indonesia. Selain bisa menikmati lebaran secara bersama-sama, persamaan perayaan hari raya juga membuat idul Fitri bisa dirayakan tanpa ada pertentangan, maupun konflik-konflik kecil yang muncul di masyarakat.
“(Idul Fitri) Jadi lebih indah, tidak ada pertentangan, yang ada hanya suka cita menyambut hari esok,” tutur salah seorang warga Pengok, Gondokusuman, Yogyakarta, Ali Muhsin kepada Jogjakartanews.com.
Menurutnya, tiadanya perbedaan dalam perayaan Idul Fitri khususnya terkait dengan dua ormas islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah membuat suana Idul Fitri terasa lebih ‘damai’. Karenanhya, ia berharap momentum Idul Fitri secara bersama-sama bisa selalu dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk itu, ia secara pribadi mendukung wacana pembuatan Kalender Islam yang belakangan santer diwacanakan oleh PP Muhammadiyah dan juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Wacana kalender Islam saya pikir menjadi gagasan yang positif jika benar bisa membuat umat islam bersatu, setidaknya berkenaan dengan momentum pelaksanaan hari-hari besar islam seperti hari raya, karena kebersamaan itu indah,” harapnya.
Lebih ke timur Indonesia, Nafiuddin, warga desa Batu Putih Kenek, Kecamatan Batuputih Kecamatan, Sumenep yang juga seorang ustadz mengaku sangat senang warga di desanya bisa melaksanakan Shalat Ied secara bersama-sama.
“Ini kan berbicara untuk kalangan masyarakat bawah yang tidak mengerti apa-apa, mereka biasanya ikut-ikutan saja tanpa tau dalilnya, biasanya juga asal, ikut yang puasanya paling akhir, lebaran paling awal, yang kayak begini kan sajatinya membawa kepada hal yang tidak dibenarkan oleh agama, nah dengan lebaran bersama-sama masyarakat lebih tenang dan damai,” tutur ustadz yang baru dating dari Iraq itu.
“Ke depan, saya berharap akan selalu sama, ada rumusan-rumusan yang sesuai dalil, bisa menyatukan umat islam dalam persamaan sudut pandang, meski pada hakekatnya kita sadar perbedaan itu suatu keniscayaan,” pungkasnya. (ning)
Redaktur: Herman Wahyudi