Oleh : Elfi Suharni
Dalam perkembangan ekonomi yang ditunjang oleh kemajuan zaman ini sudah pasti adanya tuntutan atau keinginan yang mendorong upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan. Sehingga banyak sekali upaya yang dilakukan untuk menyiasati dan menghilangkan hambatan tersebut. Salah satunya adalah dengan membentuk Free Trade Zone atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Secara definitif Free Trade Zone adalah sebuah yang digunakan untuk merujuk suatu wilayah yang mana di wilayah tersebut tidak memberlakukan bea atau pajak secara langsung maupun pajak tidak langsung. Hal ini digunakan untuk menghapus hambatan ekonomi sehingga para borjuasi bisa dengan mudah roda ekonomi mereka serta mempermudah akses impor ekspor yang tidak lain akan mempercepat akumulasi kapital mereka. Free Trade Zone sendiri biasanya berlaku di Negara dunia ketiga seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia tenggara termasuk Indonesia. Adapun Internationa Corporation World Bank Group dalam Special Economic Zones Permormence, Lesson Learned, and Implication For Zone Development (2008) menyatakan bahwa Free Trade Zone adalah suatu kawasan yang mana terdapat di luas area yang sempit, dibatasi secara jelas, barang-barang tertentu bebas bea/pajak, menawarkan fasilitas pergudangan, operasional transshipment dan re-export, dan umumnya terletak di pelabuhan yang menjadi pintu masuk.
Free Trade Zone pertama kali muncul di Amerika Latin (Uruguay-Argentina) pada dekade 1960-1970 dan tumbuh pesat dengan terbentuk GATT melalui kesepakatan 23 Negara pada 30 Oktober 1994 di Jenewa, Swiss. Kemudian bertambah pesat pada tahun 1999 dengan keanggotaan 128 Negara. Kepesatan itu yang akhirnya melahirkan 3000 Free Trade Zone di 116 negara dengan produk yang beragam.
Free Trade Zone di berbagai negara biasanya memiliki karakteristik berupa insentif bisnis dan infrastruktur diatas rata-rata, regulasi bisnis yang lebih fleksibel. Area produksi dengan basis biaya produksi rendah, produksi berorientasi ekspor, paket insentif yang menarik berupa pembebasan bea masuk terhadap barang impor dan pembebaasan pajak, juga pembebasan atau potongan pajak terhadap industri berdasarkan penilaian tertentu dan kinerja ekspor mereka.
Di Indonesia sendiri, Free Trade Zone diadabtasi menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Hal ini diatur dalam Undang-Undang No.36/2000 tentang Penetapan Perppu No.1/2000 tentang KPBPB. Dalam UU No.36/2000 KPBPB diartikan menjadi suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan cukai. Lebih lanjut, dalam KPBPB dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, pariwisata, dan bidang-bidang lain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tentang pembentukan KPBPB.
Adapun lokasi KPBPB di Indonesia terletak di Pulau Sabang, Batam, Bintan, dan Karimun. Penetapan keempat kawasan tersebut sebagai KPBPB ditetapkan dalam UU No.44/2007 beserta produk turunannya. Seiring berkembangnya waktu sebagian atau seluruh lokasi KPBPB Batam, Karimun, dan Bintan diusulkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Hal ini tertuang dalam pasal 3 dan pasal 4 Peraturan Pemerintah No.1/2020 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus. Berdasarkan UU tersebut KEK merupakan pengembangan dari berbagai jenis kawasan ekonomi pada periode sebelumnya, termasuk KPBPB.
Dampak Free Trade Zone Bagi Perekonomian Indonesia
Indonesia dalam periode kedua Joko Widodo terlihat sekali sangat mengedepankan terbukanya inventasi ekonomi sebesar-sebesarnya guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal. Joko Widodo sendiri sampai membentuk kementrian investasi yang bertugas khusus membuka keran investor secara masif. Selain itu kepemerintahan saat ini juga melahirkan Omnibus Law sebagai roti khusus untuk investor, meskipun sempat ditolak besar-besaran dari berbagai lini masyarakat sampai menimbulkan korban jiwa.
Meskipun seperti itu, pertumbuhan ekonomi di indonesia masih sangatlah lambat. Bahkan, Free Trade Zone tidak memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Alih-alih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Free Trade Zone di Indonesia malah membuat tidak berkembangnya kesejahteraan buruh, dikarenakan biaya upah murah.
Pada free trade zone di Negara-Negara berkembang masih dijumpai banyak permasalahan bahwa investor lokal masih jauh tertinggal dalam bidang eksport dan persaingan dagang dengan investor asing maupun eksport know how. Yakni kemampuan yang memungkinkan investor lokal untuk menguasai teknologi dalam produksi, pemasaran, distribusi, dan penjualan-penjualan barang berkualitas ekspor. Kondisi ini diungkapkan karena perkembangan teknologi dalam insudtrialisasi di Indonesia sejak tahun 1980 telah jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju asia lainnya.
Pembentuka Free Trade Zone di indonesia juga memiliki resiko yang besar, kemungkinan kerugian yang diterima lebih besar dari pada keuntungan yang didapat. Ada banyak hal yang dapat menjadi kendala dalam dalam membangun Free Trade Zone, yaitu tingginya biaya konstruksi dan pemeliharaan pekerja dibayar dengan upah yang rendah sehingga akan menimbulkan rasa tidak puas yang berdampak pada konflik antara buruh dengan investor. Selain itu tidak terjadinya transfer teknologi dan transfer pengetahuan terhadap penduduk lokal sehingga industri lokal menjadi lemah dan tidak kuat bersaing.
Pemerintah nampaknya memiliki banyak tugas untuk memaksimalkan Free Trade Zone di Batam, Bintan, dan Karimun. Keseriusan pemerintah dalam memaksimalkan Free Trade Zone ini akan berdampak besar pada penduduk lokal di area proyek tersebut. Pemerintah juga mesti memberikan jaminan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik, juga keamanan agar roda investasi bisa masuk secara masif dan free trade zone bisa berdampak positif dan optimal untuk mengangkat harkat kesejahteraan rakyat. (*)
Penulis adalah aktivis HMI Cabang Yogyakarta, Peserta LK 3 (Advance Training) BADKO Riau, Kepri.