DALAM kepercayaan masyarakat jawa, manusia terlahir ke dunia ditemani dua ‘Saudara’, yaitu ‘kakang (kakak) kawah’ yang berbentuk air ketuban dan ‘adhi (Adik) ari-ari’ yang berbentuk plasenta yang dalam bahasa jawa disebut ari-ari.
Meski hanya segumpal daging, namun ari-ari dianggap mengandung ruh, sehingga diberlakukan layaknya ‘manusia’. Dalam prosesi penguburannya, ada beberapa ubo rampe (syarat) yang disediakan. Yaitu; kembang boreh, minyak wangi, kunir bekas alas memotong usus, welat (lapisan bamboo tajam untuk memotong usus), garam, jarum, benang, gereh petek (ikan teri), gantal rong kenyoh, kemiri gepak jendhul, tulisan huruf jawa (dari HA hingga NGA), tulisan huruf arab (dari ALIF hingga YA), tulisan latin (dari A-Z), dan uang segobang atau sebenggol (uang koin).
Ari-ari biasanya dikubur oleh ayah si jabang bayi. Sebelum dikubur, ari-ari dibersihkan dan dimasukkan ke dalam kendhil (periuk dari tanah) dan dialasi daun senthe (talas). Ubo rampe yang sudah disiapkan juga dimasukkan ke dalam kendhil bersama ari-ari dan ditutup dengan kue lemper, selanjutnya dibungkus dengan kain mori.
Tempat penguburan ari-ari juga tidak sembarangan. Jika bayi berjenis kelamin laki-laki maka di kubur di sebelah kanan pintu rumah. Jika perempuan, di sebelah kiri pintu rumah. Saat akan memasukkan ari-ari ke dalam lubang kuburan, dibacakan surat Al Fatihah dan beberapa surat lainnya. Setelah selesai, selanjutnya dibuatkan pagar di sekeliling kuburan dan diberi penerangan dengan lentera minyak tanah.
Menurut Filsuf Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Damardjati Supadjar, dalam kepercayaan masyarakat tradisional Jawa, manusia terlahir tubuh rangkap empat, yaitu kakang kawah dan adhi ari-ari atau disebut juga kakang mbarep dan andhine ragil, kemudian getih (darah) dan puser (tali pusar).
” (Kepercayaan) Ini terkait ilmu tasawuf, ilmu kebatinan, tarikat dan macam-macam,” tuturnya sebagaimana dikutip dari Majalah Pendapa Tamansiswa No.53 Tahun XXIII 2011 .
Dari sisi filsafat, Damardjati mengatakan penguburan ari-ari memiliki makna tersendiri, yaitu untuk penghormatan terhadap saudara kakang kawah dan adhi ari-ari, tidak hanya dikubur, tapi juga ada yang diangin-anginkan (dimasukkan kendhil lalu digantung di rumah). Upacara itu juga dilakukan agar manusia yang lahir sumurupo byare atau mendapat takdir yang baik di hari akhir.
Sementara menurut Revianto Budi Santoso yang ditulis dalam Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen Volume 1 Nomor 2 Bulan Agustus 2006, dijelaskan penguburan ari-ari mempunyai maksud untuk menyusul ‘kakaknya ‘ si ‘kakang kawah’ yang tumpah terlebih dahuku ke bumi. Semua itu dikubur untuk menyatukan semua perwujudan dengan tanah (Budi, 2000:1 Soetarno, dalam Kusmayati).
Kendati jaman sudah kian maju seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namn tradisi menguburkan ari-ari masih dilakukan sebagian besar masyarakat jawa, khususnya di DIY. Di sisi lain, penetitian tentang plasenta (ari-ari) sudah banyak dilakukan di berbagai Negara.
Menurut hasil penelitian kedokteran, ternyata ari-ari banyak mengandung zat, enzim, dan hormon yang efektif dijadikan obat-obatan. Kandungan dalam ari-ari sudah banyak dimanfaatkan di Negara maju, yang disebut dengan ekstrak plasenta. Namun di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, ari-ari belum dimanfaatkan.
Hal itu sebagaimana diungkapkan dr. Siswosudarmo, Sp. OG (K), dokter ahli Obsttetri dan Ginekologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
“Kami tidak memanfaatkan ari-ari karena terbentur dengan tradisi masyarakat Jawa,” ungkapnya sebagaimana dikutip dari Majalah Pendapa Tamansiswa.
Dijelaskan Siswo Sudarmo, pihak RSUP masih menyediakan kendhil sebagai wadah ari-ari untuk dibawa pulang ke rumah. Kecuali kalau ibunya berpenyakit, biasanya dokter meminta izin keluarga untuk mengambil sebagian ari-ari dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk urusan patologi anatomi. (kim)
Redaktur: Rudi F