Mencermati Kekurangan dan Kelebihan Marketing Politik Para Capres

POLITIK secara luas dapat diartikan “aktivitas sosial dengan melalui kerjasama dengan orang lain” tentunya dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (Budiardjo, 2008). Namun dilain pihak politik berarti rentan konflik, dalam hal ini kita dapat memaknai salah satu atau kedua-duanya. Secara teori, menurut Jenkins (1967) politik dibedakan dalam kedua hal, yaitu teori yang berdasar moral (value), dan yang tidak mendasarkan pada nilai (non valuable)

Teori valuable adalah yang mengajarkan mengenai politik sehat untuk mencoba mengtur hubungan dan interaksi antar anggota masyarakat secara mutualisme demi tercapainya struktur masyarakat yang stabil dan dinamis. Sedangkan non valuable adalah yang bersifat menggambarkan dan membandingkan, teori ini berusaha untuk membahas fakta-fakta untuk disistematisir dan disimpulkan secara umum (generalisasi), tentunya dengan tujuan untuk diaplikasikan.

Sementara dalam prakteknya di negara kita, sependek pemahaman saya, berlaku teori politik elit, yang berkutat pada pembahasan, “siapakah layak memerintah?” dan “siapakah yang berkeinginan besar memerintah?”. Menurut A. Sitepu, teori elit mendasarkan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kategori. Yaitu, sekelompok kecil kecil manusia yang berkemampuan dan kerenanya menduduki posisi untuk memerintah, serta sejumlah besar massa pada posisi untuk diperintah.

Sekelumit pemahaman tentang politik di atas tersebut yang akan mengantarkan penulis untuk membahas “marketing politik” para kandidat yang akan bertarung dalam Pilpres 2014 ini.

Tujuan utama dari kompetisi Pilpres adalah untuk memenangkan suara, dengan membangun preferensi dan membentuk persepsi yang dalam hal ini harus makin menunjukkan bentuknya secara nyata dalam waktu yang singkat. Pemasaran politik dapat menggunakan teori klasik empat bidang, yaitu; penyebab memilih, konstituen (pemilih), iklan komparatif dan dukungan selebriti (endoser).

Partai Gerindra secara terang-terangan sejak jauh hari mencalonkan Bapak Let.Jend (Purn) H. Prabowo Subianto menjadi Capres, maka preferensi dibangun dengan mengkampanyekan figur maupun partai yang dapat membentuk persepsi bahwa beliau adalah Presiden ideal yang “layak memerintah”. Hal ini tentunya perlu pendalaman, tidak sebatas menentukan partai koalisi bahkan non-partisan, namun juga dengan lebih mendalami kajian seberapa besar massa anggota dan simpatisan partai tersebut mengikuti atau turut memberikan suara dalam Pilpres yang tidak selalu ekuivalen dengan Pemilihan Legislatif (Pileg).Kemudian dalam aplikasinya, segmen pemilih yang dibidik tentu seluas-luasnya, yaitu golongan kelas bawah-hingga elit.

Salah satu yang mempergaruhi pilihan masyarakat dewasa ini adalah media. Oleh karenanya juga perlu menciptakan dukungan media (ramah media). Ini dapat dilakukan dengan cara pragmatis seperti melibatkan media dalam setiap kegiatan atau safari di seluruh Indonesia dari ujung barat ke timur, dengan berbagai strategi atau skala prioritas. Sebab, jika capres saja yang berkampanye atau safari tanpa dukungan publisitas media, tentu sulit terwujud. Kemudian dengan Beriklan. Iklan perlu diarahkan membidik segemen kelas bawah-hingga elit, dari gaya iklan “tegas & berwibawa” Meski selama ini iklan Prabowo masih menjangkau sisi “menengah-ke atas”. Kesemuanya itu memerlukan pula berbagai dukungan baik berupa testimoni atau keterlibatan langsung tokoh masyarakat lapis bawah hingga elit bahkan selebriti sebagai endoser.

Iklan Prabowo  akan lebih berefek jika mau mengangkat tema “story board“, bersambung dan mengirimkan pesan kerakyatan, kepahlawanan, keseriusan, dan kesiapan dirinya sebagai Capres, sehingga durasi tayang yang cukup bagus selama ini didukung dengan materi iklan yang mengena di hati masyarakat. Dengan demikian, kelayakan Prabowo dapat benar-benar terekspose dan masyarakat tahu bahwa dia memang capres yang dibutuhkan Indonesia pada saat ini dengan beberagai bekal kapabilitas, baik secara lokal maupun internasional. Misalnya, terwakilinya unsur militer, petani, nelayan, pekerja, cendekiawan, hingga pebisnis yang berpegang teguh pada Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika untuk meneguhkan pemilihan nama koalisi “Merah Putih”.

Penggunaan media iklan baik itu layar kaca, cetak, maupun multi media (Media Online) juga dapat dikembangkan dengan gaya interaktif. Yang tak kalah penting adalah pembentukan-pembentukan laskar atau relawan di berbagai kelas sosial yang akan mencerminkan dan berpengaruh terhadap dukungan segenap rakyat Indonesia untuk memilih Prabowo  sebagai Presiden.

Disisi lain, Capres Joko Widodo atau dikenal Jokowi yang selama ini sudah menggunakan style “masyarakat sentries” tidak memerlukan tipe iklan story board tersebut. Sebab, posisinya sudah menguntungkan dan diyakini mewakili grass root. Gaya Jokowi yang “santai dan merakyat”, “tertib dan formil” hingga “humoris” cukup populer di kalangan generasi muda atau pemilih pemula hingga manula. Namun tetap saja Jokowi memerlukan strategi iklan yang sedikit mengangkat sisi kepintaran dan keprofesionalannya.  Pasalnya, selama ini masyarakat belum terlalu memahami program unggulan Jokowi, selain ‘blusukan’ dan tentunya mustahil Jokowi bisa blusukan dari sabang sampai merauke setiap hari seperti yang selama ini dilakukannya sebagai Gubernur DKI. Bahasa mudahnya adalah iklan yang menjangkau “menengah ke atas” untuk memperluas potensi penggalangan suara.

Harus diakui, iklan di media tetap berpengaruh besar untuk meraup dukungan suara. Nah, di sini tampak kekurangan Timses Jokowi. Karena media selama ini cukup mengangkat beliau, namun secara eksklusif program dan iklan beliau sangat jarang. Misalnya dilakukan iklan yang menonjolkan tag line “Indonesia Hebat”, namun tetap harus hati-hati karena akan berkompetisi dengan tag line “Indonesia Bangkit” yang tak kalah populer. 

Di sisi lain, kecerdikan timses Jokowi memang bisa kita lihat pula. Diantaranya dengan uniform  “baju kotak-kotak” yang cukup menjadi trand di masyarakat perkotaan, namun hal ini juga belum terdistribusi atau “sampai” di masyarakat secara lebih luas. []

Penulis: Hartanto, SH, M.Hum, adalah  Praktisi Hukum, pengamat politik, sekaligus akademisi Universitas Widya Mataram Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com