YOGYAKARTA– Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik yang dikenakan kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Namun, blangkon yang dipakai Raja Ngayugyokarto Hadiningrat, Sri Sultan HB X beserta kerabat tentunya bukan Blangkon sembarangan.
Ternyata, blangkon yang dipakai Sultan, keluarga, kerabat, hingga abdi dalem keraton tersebut banyak diciptakan dari tangan seorang maestro blangkon, Slamet Raharjo (65) warga Kampung Bugisan, Wirobrajan, Yogyakarta.
Slamet tidak membuat tutup kepala berbahan batik dan berbentuk khas itu dengan sembarangan seperti yang banyak dijual di pasar-pasar atau took cindera mata di Yogyakarta. Dia membuat blangkon berdasarkan pesanan.
Hasil karyanya terbuat dari batik berkualitas, memiliki presisi tinggi sesuai dengan bentuk dan ukuran si pemakai sehingga nyaman dikenakan serta menambah wibawa pemakainya. Terlebih, blangkon ciptaanya banyak digunakan keluarga dan kerabat keraton dalam upacara sakral Kebudayaan Jawa.
Oleh karenanya, dalam menciptakan blangkon, Slamet memerlukan proses yang cukup lama dan penuh kehati-hatian. Dari membuat pola sesuai ukuran pemesan, hingga memilih bahan dan corak batik yang cocok.
“Bagaimana jadinya jika tidak ada blangkon bagus. Nama kraton bisa rusak jika para bangsawannya menggunakan blangkon yang dijual di pasar,” tutur Slamet dikutip dari sumber pariwisata.jogjakota.go.id
Namun, bagi yang ingin mengenakan blangkon karya Slamet, harus menganti. Sebab, hampir setiap hari dia mendapatkan pesanan dan Slamet lebih memprioritaskan pesanan dari keraton. Produk berkualitas tinggi karya Slamet Raharjo tersebut berharga ratusan ribu.
Menurut Slamet, keterampilan yang dimilikinya adalah warisan dari almarhum ayahnya, Notodihardjo yang juga seorang pembuat blangkon. Ayahnya sendiri belajar membuat blangkon dari sahabatnya, Karto Thole, seorang pembuat blangkon yang biasa melayani pesanan dari kerabat Kraton Yogyakarta.
Karena Karto Thole yang juga abdi dalem Kraton Yogyakarta itu sering kebanjiran pesanan, ia minta Notodihardjo untuk membantunya. Ketika Karto Thole meninggal, Notodiharjo pun menjadi ‘pewaris tahta’ yang meneruskan usaha Karto Thole membuat karya blangkon yang serius.
Perhatiannya yang besar terhadap kebesaran kebudayaan Jawa itu pula yang mendorong Slamet bersikap arif, yaitu mau memberikan ilmunya kepada siapa pun yang ingin belajar membuat blangkon dengan serius. Salah satu yang mewarisi ilmu menciptakan blangkon dari Slamet adalah Rujito, pegawai yang masih setia menemaninya.
“Kalau ilmu ini tidak saya amalkan kepada orang lain, percuma. Harus ada generasi yang bisa membuat blangkon berkualitas untuk keraton,” imbuh Slamet dikutip dari sumber pariwisata.jogjakota.go.id. (yud)
Redaktur: Rudi F