Moral Digital

Oleh: Andreas Ryan Sanjaya*

Suatu ketika mantan Menkominfo Tifatul Sembiring pernah “dihabisi” oleh netizen karena bertanya lewat akun Twitternya, “Memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?” Barangkali nikah siri online yang sedang marak diberitakan ini adalah jawaban dari segelintir masyarakat yang ditanyai.

Beberapa pekan lalu publik disuguhi fenomena yang terbilang baru di dunia maya. Berbagai situs penyedia jasa nikah siri online merebak, menawarkan kemudahan dan kerahasiaan bagi calon pasangan yang hendak menikah. Syarat-syaratnya relatif mudah dipenuhi bagi kedua calon mempelai, yang penting maharnya ada.

Nikah siri sendiri bukanlah hal baru, dan barangkali bukan ranah orang awam untuk menyebut hal ini melanggar norma agama dan hukum atau tidak. Maka yang bisa kita kritisi dari hal ini adalah bagaimana jaringan Internet kita digunakan oleh masyarakat ‘menuju’ digital di Indonesia.

Pada prinsipnya perlu diketahui bahwa teknologi Internet adalah determinan utama dari cita-cita masyarakat informasi. Masyarakat yang melek informasi akan mengalami proses edukasi yang menancapkan berbagai pengetahuan teoritis maupun praktis. Kepemilikan pengetahuan itulah yang kemudian memperbaiki kualitas sumber daya manusia, yang menjadi salah satu determinan proses pembangunan sebuah negara bangsa.

Prinsip di atas bukanlah utopia atau sebatas impian saja. Internet, dengan berbagai mata pisaunya, memang dapat digunakan untuk tujuan pembangunan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik sebuah negara. Bila mau merefleksikan, sebenarnya ada beberapa perubahan fundamental yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi ini.

Pertama, perubahan pola produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa di dalam masyarakat. Hal ini salah satunya terlihat dari nilai transaksi e-commerce yang melonjak di tahun 2014. Boston Consulting Group, sebuah perusahaan konsultan manajemen global, bahkan memperkirakan nilai transaksi e-commerce di tahun 2015 ini sebesar Rp100 triliun.

Pembagian kue iklan melalui media Internet pun makin besar, meski tak sebesar televisi. Namun setidaknya hal ini menunjukkan teknologi ini menawarkan cara baru untuk beriklan, menawarkan produk barang atau jasa. Barangkali nikah siri online adalah salah satu komodifikasi pernikahan. Pernikahan yang memiliki nilai luhur diubah menjadi nilai tukar yang digunakan dengan semena-mena.

Kedua, teknologi Internet mendorong masyarakat untuk terbiasa dengan segala yang instan dan cepat. Ibarat kata, ketika dulu harus keluar rumah untuk membeli barang, kini tinggal ‘klik’ dan barang itu yang akan sampai dengan sendirinya. Dalam beberapa hal, cara tersebut sangat memudahkan kita menyelesaikan beragam urusan. Namun sebaiknya jangan lupakan konsekuensi penting di baliknya.

Segala yang cepat itu membuat kita tanpa sadar sering merasa tergesa-gesa dan selalu dikejar waktu. Akibatnya tidak sesederhana yang dibayangkan, karena ketergesaan itu seringkali berakibat fatal. Menghindari proses dan mengambil jalan pintas seringkali dituding sebagai penyebab berbagai masalah yang menjerat manusia modern dewasa ini. Lagi-lagi, barangakali nikah siri online adalah gambaran dari jalan pintas manusia untuk mengalami pernikahan, meski ada juga yang menuduh itu sebagai prostitusi terselubung.

Perubahan-perubahan tersebut rasanya sulit dibendung, kecuali dengan cara membatasi jumlah perangkat dan akses Internet itu sendiri. Namun bila itu dilakukan oleh negara, pemerintah akan terganjal oleh Pasal 28 F UUD 1945 tentang setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Lalu apa yang harus dilakukan negara dan rakyatnya?

Kominfo menekankan bahwa masyarakat harus proaktif untuk melaporkan kepada website-website yang berkonten tidak pantas agar nantinya dapat ditutup. Masalahnya jumlah website itu sangat banyak dan tidak mungkin diawasi satu persatu oleh Kominfo. Lagipula, menurut aturan, penutupan sebuah website harus melalui mekanisme pelaporan oleh rakyat atau institusi lain.

Di sisi lain, kabarnya Kominfo juga sudah menutup sembilan situs yang menawarkan jasa nikah siri online tersebut. Hanya saja kita patut berharap agar pemerintah bisa lebih dari sekadar aksi reaktif seperti ini. Menutup akses website seharusnya adalah perkara kecil di hadapan kekuasaan kuat pemerintah. Kita patut menunggu pemerintah menutup website-website berisi ajaran radikal, informasi fitnah, bohong, dan menyesatkan, yang lebih kontra terhadap proses pembangunan. Perkara nikah siri online adalah semut kecil di antara anak macan yang jika dibiarkan liar akan mengancam kita sendiri.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM/@ryansandjaja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com