YOGYAKARTA – Munculnya wacana revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menimbulkan tanda tanya Publik. Pasalnya banyak materi yang dinilai justru kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Menurut akademisi sekaligus pakar hukum dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Hartanto, SH.M.Hum, dalam draft revisi UU KPK pada pasal 5 terdapat pembatasan usia KPK ditentukan selama 12 tahun.
“Jika usia KPK hanya 12 tahun, umur koruptor akan panjang. Contohnya saja, dalam beberapa kasus dugaan korupsi, bahkan banyak nama yang sudah dijadikan tersangka oleh kejaksaan belum divonis. Padahal penyidikan, bahkan persidangan sudah berjalan bertahun-tahun. Padahal 1 tersangka biasanya terkait dengan yang lain. Jika satu kasus saja bisa bertahun-tahun bayangkan saja jika 100 kasus?,” ujarnya, saat dijumpai jogjakartanews.com, di kantornya, Kamis (08/10/2015).
Dikatakan Hartanto, KPK adalah lembaga ad hoc, artinya memang bisa dibubarkan. Akan tetapi menurutnya, pembubaran KPK harus berdasarkan argumentasi hukum yang jelas.
“Misalnya, harus dipastikan korupsi yang merupakan extra ordinary crime itu, benar-benar sudah bisa ditumpas habis? Kalau memang demikian apa indikatornya juga harus ditunjukkan ke publik. Sebab terbentuknya KPK juga atas usulan masyarakat. Lalu, apakah perangkat hukum lain sudah benar-benar mampu dan mendapatkan legitimasi hukum yang sama dalam menangani kasus korupsi setelah KPK dibubarkan?” kata Hartanto.
Lebih lanjutt dijelaskan Hartanto, selain soal waktu, dalam draft revisi UU KPK juga terdapat kewenangan yang diamputasi. Yaitu, kata dia, terkait penyadapan yang harus melaui izin ppengadilan, serta penghentian penyidikan suatu perkara atau SP3.
“Kalau kewenangan-kewenangan khusus itu lantas dibatasi, tenu saja lembaga anti rasuah ini akan lemah. Tidak ada lagi keleluasaan lagi untuk membongkar kasus korupsi secara progresif. Oleh karena itu, maka wajar jika ada kekhawatiran publik jika dalam draft revisi UU KPK terdapat hal-hal yang kontraproduktif demikian,” imbuhnya.
“Sebab, jika karena revisi UU, lembaga super body itu jadi lemah, tentu saja yang senang para pelaku korupsi,” pungkasnya. (kt1)
Redaktur: Herman Wahyudi